REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan sanksi Amerika Serikat (AS) akibat pembelian sistem pertahanan Rusia adalah serangan bermusuhan terhadap hak-hak kedaulatan dan industri pertahanan. Dia menegaskan langkah itu pasti akan gagal diterapkan kepada Ankara.
"Tujuan sebenarnya adalah untuk memblokir kemajuan negara kita yang dimulai di industri pertahanan baru-baru ini dan sekali lagi membuat kita benar-benar bergantung pada mereka (Amerika Serikat)," kata Erdogan dalam pidato yang disiarkan televisi, Rabu (16/12).
Washington memberikan sanksi kepada anggota NATO, Direktorat Industri Pertahanan Turki (SSB), pimpinan lembaga itu Ismail Demir, dan tiga karyawan lainnya pada Senin (14/12). Langkah ini diambil atas akuisisi sistem pertahanan rudal S-400 Rusia oleh Turki.
"Pasti akan ada masalah, tapi setiap masalah akan membuka pintu bagi kita untuk mencari solusi," ujar Erdogan.
Dalam komentar publik pertama tentang keputusan itu, Erdogan mengatakan masalah yang berasal dari sanksi akan diatasi. Dia berjanji untuk meningkatkan upaya menuju industri pertahanan independen, sambil mengkritik Washington karena menghukum sekutu NATO.
"Aliansi macam apa ini? Kemitraan macam apa ini? Keputusan ini adalah serangan bermusuhan terbuka terhadap hak kedaulatan negara kita," kata Erdogan.
Turki menjelaskan pembelian S-400 bukanlah pilihan, melainkan suatu keharusan karena tidak dapat memperoleh sistem pertahanan udara dari sekutu NATO mana pun dengan persyaratan yang memuaskan. Washington mengatakan S-400 menimbulkan ancaman bagi jet tempur F-35 dan sistem pertahanan NATO yang lebih luas. Turki menolak klaim ini dan menegaskan S-400 tidak akan diintegrasikan ke dalam sistem NATO.
Erdogan pun mengulangi bahwa kekhawatiran AS tentang kondisi tersebut tidak memiliki dasar teknis. Dia mengatakan Ankara masih memproduksi hampir 1.000 suku cadang untuk jet F-35, meskipun telah dihapus dari program karena pembelian S-400. Turki juga akan membeli lebih dari 100 jet F-35.
Sanksi itu datang pada saat yang sulit dalam hubungan yang rumit antara Ankara dan Washington. Padahal, Presiden terpilih dari Partai Demokrat Joe Biden bersiap untuk menjabat pada 20 Januari untuk menggantikan pejawat dari Partai Republik, Donald Trump.
Direktur Komunikasi Erdogan, Fahrettin Altun, mengatakan sanksi AS akan menjadi beban bagi Biden. Namun, Ankara yakin Washington akan membalikkan kesalahan besar ini tanpa penundaan.
Altun menambahkan bahwa sanksi tersebut membuat Washington tampak seperti sekutu yang tidak dapat diandalkan dalam NATO. "Krisis ini akan tercatat dalam sejarah ... sebagai buku kegagalan diplomasi AS. Bagi AS, yang kami lihat sebagai sekutu penting, mengalami pemikiran seperti itu, meskipun upaya kami melindungi kepentingan bersama atas dasar kesetaraan, adalah kerugian bagi mereka," katanya kepada surat kabar Aksam.