REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump melakukan pembicaraan via telepon dengan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud pada Kamis (17/12). Selain hubungan bilateral, mereka turut membicarakan masalah keamanan regional.
"Presiden Trump berterima kasih kepada Raja Salman atas kepemimpinannya dan mengungkapkan optimismenya untuk menyelesaikan keretakan Teluk," kata Gedung Putih dalam sebuah pernyataan.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan mengatakan telah ada kemajuan signifikan dalam proses penyelesaian krisis Teluk. Dia berharap perselisihan dapat segera diselesaikan.
"Kami telah melihat kemajuan signifikan dalam beberapa pekan terakhir, yang berarti kami sekarang berharap dapat mencapai kesimpulan akhir secepatnya yang akan memuaskan semua pihak," kata Pangeran Faisal saat berbicara di International Institute for Security Studies Manama Conference pada 5 Desember lalu.
Dia mengapresiasi peran mediator yang diemban Kuwait dan AS untuk menyelesaikan krisis Teluk. "Kami sangat menghargai upaya yang dilakukan oleh negara saudara Kuwait untuk menjembatani kesenjangan dalam sudut pandang mengenai krisis Teluk, dan kami berterima kasih atas upaya Amerika dalam hal ini, dan kami berharap hal itu berhasil demi kebaikan negara-negara di kawasan," katanya.
Krisis Teluk telah berlangsung sejak Juni 2017. Hal itu bermula saat Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Mesir menuding Qatar mendukung kegiatan terorisme dan ekstremisme di kawasan. Doha dengan tegas membantah tuduhan tersebut.
Kendati telah menyanggah, Saudi, Mesir, Bahrain, dan UEA tetap memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar. Keempat negara itu juga memboikot dan memblokade seluruh akses ke Doha. Saudi serta sekutunya kemudian mengajukan 12 tuntutan kepada Qatar.
Tuntutan itu antara lain meminta Qatar menurunkan hubungan diplomatik dengan Iran dan menutup media Aljazirah. Doha juga diminta menutup pangkalan militer Turki di negaranya. Jika menginginkan boikot dan blokade dicabut, Qatar harus memenuhi semua tuntutan tersebut.
Namun Qatar menolak melakukannya karena menganggap semua tuntutan tak masuk akal. Akibat sikap tersebut, Qatar terkucil hingga kini.