REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan mempertanyakan aliansi antara Turki dengan AS. Hal itu, menyusul Washington yang mengumumkan sanksi terhadap Ankara atas pembelian sistem rudal S-400 Rusia.
"Aliansi macam apa ini? Kemitraan macam apa ini?" tanyanya seperti dikutip dari RT, Sabtu (19/12).
Dalam pernyataan yang diutarakannya di siaran televisi nasional Turki itu, Erdogan mengkritik pemerintahan Trump yang mengeluarkan sanksi lebih lanjut. Dia juga mengatakan, jika sanksi yang dijatuhkan AS itu adalah serangan terhadap kedaulatan negara. Sambil menyebut bahwa pemerintahannya akan terus memperkuat sistem pertahanannya terlepas dari sanksi AS.
"Keputusan ini adalah serangan bermusuhan terbuka terhadap hak kedaulatan negara kita," ujar dia.
Melalui CAATSA, Undang-Undang Melawan Musuh Amerika Melalui Sanksi AS, Pemerintahan Donald Trump memberlakukan sanksi pada Senin lalu. Sanksi pada Turki itu, diketahui menandai sanksi pertama kalinya dari AS terhadap sekutu NATO.
Sanksi itu, nyatanya juga terjadi di tengah ketegangan yang meningkat antara negara-negara Eropa dan Ankara. Khususnya, atas tindakan Turki di Timur Tengah dan Siprus Utara.
Menjelaskan keputusan tersebut, Asisten Menteri Luar Negeri AS Chris Ford berkata, pihaknya sangat menyesalkan tindakan itu harus diambil. Karenanya, AS, kata dia, sangat berharap Turki bisa bekerja sama dengan Amerika untuk menyelesaikan masalah S-400 secepat mungkin.
Sebelumnya, CAATSA berusaha untuk mencegah pemerintah Turki menandatangani kesepakatan militer dengan Rusia. Hal itu, dilakukan dalam upaya untuk mengurangi pengaruh Moskow di seluruh Eurasia. Undang-undang tersebut juga menargetkan Iran dan Korea Utara, agar memberlakukan pembatasan serupa.
Tahun lalu, AS menghapus Ankara dari program jet tempur F-35 setelah menerima pengiriman bagian pertama dari sistem S-400.
Kekhawatiran AS dipicu jika S-400 ke depannya memungkinkan Rusia untuk diam-diam mengumpulkan informasi rahasia tentang Lockheed Martin F-35 buatan AS. Meski demikian, Turki telah berulang kali menolak kekhawatiran ini, dan berusaha meyakinkan Amerika dan negara-negara sekutu NATO lainnya bahwa sistem pertahanan dan jet tempur tidak akan terintegrasi.