REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mempublikasikan daftar perusahaan China dan Rusia yang memiliki hubungan ilegal dengan militer. Perusahaan-perusahaan tersebut dilarang membeli banyak produk dan teknologi AS.
Bulan lalu kantor berita Reuters sudah memberitakan Departemen Perdagangan AS sedang menyusun daftar perusahaan yang memiliki hubungan dengan militer Rusia dan China. Beijing membantah isi berita tersebut.
Daftar yang dipublikasikan pada Selasa (22/12) ini tidak memasukkan Commercial Aircraft Corporation of China (COMAC) atau anak perusahaan Colorado’s Arrow Electronics di Hong Kong dan perusahaan distributor produk elektronik Berkshire Hathaway, TTI Inc. Perusahan-perusahaan itu tercantum dalam daftar yang dilihat Reuters bulan lalu.
Namun Shanghai Aircraft Design and Research Institute, yang merancang pesawat-pesawat COMAC dan manufaktur yang produksinya Shanghai Aircraft Manufacturing Co, masuk dalam daftar yang terbaru. Daftar tersebut berisi 131 entitas atau 14 lebih sedikit dibandingkan daftar pada November.
Lima puluh delapan perusahaan berasal dari China, turun dari bulan lalu yang sebanyak 89 dan 45 perusahaan dari Rusia naik yang sebelumnya hanya 28 perusahaan. Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross mengatakan langkah ini untuk menetapkan proses baru 'dalam membantu eksportir menyaring konsumen militer mereka'.
Daftar terbaru diunggah di situs Departemen Perdagangan AS pada Senin (21/12) dan diunggah di situs Federal Register pada Selasa ini. Publikasi ini dilakukan pada hari-hari terakhir pemerintahan Trump yang telah memasukkan puluhan perusahaan China ke dalam daftar hitam termasuk produsen cip SMIC dan drone SZ DJI Technology Co Ltd.
Dalam beberapa tahun terakhir, ketegangan antara China dan AS meningkat tajam. Tensi meningkat terutama setelah Trump menyalahkan China atas pandemi virus corona. Langkah China memberlakukan undang-undang keamanan nasional di Hong Kong dan keterlibatan AS di Laut China Selatan juga semakin memperburuk keadaan.
Pemerintah AS juga semakin cemas dengan 'fusi militer-sipil' China, kebijakan yang bertujuan untuk membangun kekuatan militer dan pengembangan teknologi secara bersamaan. Musim panas ini Departemen Perdagangan AS memperluas definisi military end users, istilah yang digunakan departemen itu pada perusahaan yang memiliki hubungan dengan militer.
Perusahaan yang masuk kategori tersebut tidak hanya perusahaan yang memasok angkatan bersenjata dan polisi. Akan tetapi juga setiap entitas personel yang mendukung atau berkontribusi pada produksi dan perawatan peralatan militer meski bidang utama mereka bukan militer.
Perusahaan-perusahaan AS wajib memiliki lisensi jika ingin menjual produk mereka ke perusahaan yang masuk kategori military end user. Daftar ini tidak pasti dan Departemen Perdagangan AS mengatakan perusahaan-perusahaan Amerika harus memutuskan sendiri apakah pembeli mereka masuk kategori military end users atau tidak.
China marah dengan publikasi daftar perusahaan ini. Pada November lalu juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhou Lijian menuding 'AS melakukan tekanan yang dilakukan tanpa provokasi terhadap perusahaan-perusahaan China'.