REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO — Varian baru SARS-CoV-2 (Covid-19) yang pertama kali ditemukan di Inggris telah ditemukan di sejumlah negara lain, bahkan hingga di luar Eropa. Jepang dan Kanada menjadi di antara negara yang melaporkan kasus dari varian baru yang diyakini berpotensi lebih menular.
Dilansir The New York Times, dalam studi baru-baru ini oleh para ilmuwan di Inggris menyebut bahwa varian baru SARS-CoV-2 tidak lebih mematikan. Namun, virus itu diperkirakan 56 persen lebih menular.
Sejauh ini, varian baru SARS-CoV-2 telah didiagnosis pada tujuh orang di Jepang. Kementerian Kesehatan negara itu menyebut bahwa mereka baru-baru ini bepergian ke Inggris atau pernah melakukan kontak dengan seseorang yang pernah bepergian ke sana.
Sementara itu, pejabat kesehatan di Ontario, Kanada mengkonfirmasi dua kasus dari varian baru SARS-CoV-2. Kedua kasus itu melibatkan salah satunya pasangan yang tidak memiliki riwayat perjalanan ke Inggris, termasuk paparan atau kontak dengan orang-orang dari negara itu.
Menurut sejumlah ilmuwan, normal bagi virus untuk bermutasi. Sebagian besar mutasi virus corona jenis baru terbukti kecil. Varian baru dari Inggris memiliki konstelasi 23 mutasi. Beberapa di antaranya mungkin mengubah transmisibilitasnya.
Pakar kesehatan meyakini bahwa vaksin yang tersedia akan dapat memblokir varian baru. Meski demikian, hal itu harus dikonfirmasi oleh pemeriksaan di laboratorium yang sedang berlangsung.
Penemuan kasus varian baru SARS-CoV-2 di Jepang mendorong negara tersebut untuk menutup perbatasannya. Larangan itu akan mulai berlaku pada Senin (28/12) besok dan berlangsung hingga akhir Januari 2021.
Singapura juga telah mengindentifkasi kasus infeksi dari varian baru SARS-CoV-2. Kemudian Amerika Serikat (AS), negara dengan jumlah wabah Covid-19 terbesar di dunia saat ini belum melaporkan kasus terkait varian baru. Namun, negara adidaya itu mewajibkan semua orang dari Inggris untuk melampirkan hasil tes negatif penyakit itu dalam waktu 72 jam setelah keberangkatan.