Senin 28 Dec 2020 04:15 WIB

Kado Pahit Palestina: Normalisasi Israel dan Lima Negara

Normalisasi hubungan diplomatik akan meningkatkan sikap agresif Israel atas Palestina

Rep: Antara/ Red: Christiyaningsih
(Kiri-kanan) Menlu Bahrain Sheikh Khalid Bin Ahmed Al-Khalifa, PM Israel Benjamin Netanyahu, Presiden AS Donald J. Trump, dan Menlu UEA Sheikh Abdullah bin Zayed bin Sultan Al Nahyan usai penandatanganan normalisasi hubungan dengan Israel, Selasa (15/9).
Foto:

Tawaran AS untuk Indonesia

Dikabarkan Presiden Trump menjanjikan Rp 28 Triliun investasi ke Indonesia jika Indonesia bersedia membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Tentu tawaran seperti itu sangat menggiurkan bagi Indonesia di tengah melemahnya perekonomian Indonesia akibat pandemi Covid-19.

Namun Indonesia tidak mungkin menerima tawaran tersebut apabila imbalannya adalah membuka hubungan diplomatik. Demikian diungkapkan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana.

Hikmahanto mengatakan ada tiga alasan besar untuk hal tersebut. Pertama, selama dalam pembukaan konstitusi Indonesia masih tertera kalimat "penjajahan di atas dunia harus dihapuskan" maka sebelum Palestina merdeka tidak mungkin bagi Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel yang menjajah bangsa Palestina.

Kedua, masyarakat Indonesia masih bersimpati dan memiliki solidaritas yang tinggi terhadap bangsa Palestina yang ditindas oleh Israel, baik karena alasan solidaritas agama maupun perikemanusiaan.

Terakhir, lanjut Hikmahanto, Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu melakukan pembicaraan per telepon dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang intinya Indonesia tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum Palestina merdeka.

Presiden Abbas sangat mengapresiasi komitmen Presiden Jokowi karena Indonesia tidak mengikuti sejumlah negara di Arab yang telah membuka hubungan diplomatik. Perlu juga dicermati adanya kejanggalan Trump menawarkan janji tersebut saat presiden AS itu berada dalam status lame duck (orang yang kalah dalam pemilu).

"Presiden Trump tidak seharusnya membuat kebijakan-kebijakan penting karena dalam waktu yang tidak terlalu lama akan diganti oleh Joe Biden," ujar Hikmahanto.

Ia mengatakan mungkin saja tawaran itu terkait persaingan dominasi AS-China di kawasan Asia. Untuk memenangkan persaingan kedua negara, menurut Hikmahanto AS menggunakan instrumen investasi dan utang, bahkan vaksin.

Akan tetapi karena perekonomian di AS sangat terdampak oleh pandemi Covid-19, dana yang dibutuhkan tidak mungkin berasal dari AS. Dana ini yang kemudian dinegosiasikan oleh AS dengan Israel. Seolah Israel menjadi bendahara AS. Israel sepertinya menyanggupi namun dengan persyaratan.

Bagi Israel, lanjut Hikmahanto, pengakuan Indonesia atas negara Israel penting karena Indonesia merupakan negara berpenduduk Islam terbesar di luar Timur Tengah. Belum lagi Israel dapat mengeklaim ke masyarakat internasional bahwa negara yang anti terhadap penjajahan mau mengakui Israel sebagai negara dan menjalin hubungan diplomatik.

Pada 2021, Pemerintah Amerika Serikat mungkin dapat terus menggunakan pengaruh untuk melobi negara-negara di dunia agar mau melakukan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Namun, normalisasi negara-negara Arab maupun negara non Arab dengan Israel tidak akan mengubah esensi konflik antara Palestina dengan negara Yahudi itu yang merupakan pengingkaran atas hak tak terpisahkan rakyat Palestina terhadap kebebasan dan kedaulatan.

Karena sejatinya, kedaulatan dan keadilan untuk rakyat Palestina adalah keharusan moral dan hukum yang tidak dapat diabaikan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement