REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN - Rancangan undang-undang (RUU) yang telah lama ditunggu untuk melindungi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga di Iran akhirnya selangkah lebih maju.
Pada Minggu malam, Kabinet menyetujui RUU yang bertajuk Perlindungan, Martabat, dan Keamanan Perempuan terhadap Kekerasan, yang telah ditinjau sejak September 2019.
RUU itu kini sedang diajukan ke parlemen untuk pemungutan suara sebelum kemudian disahkan menjadi undang-undang. RUU tersebut mengkriminalisasi setiap tindakan atau perilaku yang menyebabkan kerugian fisik atau mental bagi perempuan sebagai jenis kelamin yang rentan atau membahayakan persyaratan hubungan suami istri.
Di bawah RUU itu pengingkaran hak hukum dan kebebasan yang dijamin bagi perempuan dianggap sebagai tindak pidana dengan ketentuan hukum untuk menuntut keadilan dan instansi pemerintah diwajibkan untuk mengambil tindakan terhadapnya. Usulan undang-undang itu melindungi perempuan dari pemerasan dan mempertimbangkan hukuman bagi laki-laki yang meninggalkan pasangannya tanpa alasan apa pun.
RUU itu merekomendasikan dana untuk melindungi hak-hak perempuan dengan menyediakan biaya pengobatan korban kekerasan dan memberikan pelatihan pengembangan keterampilan kepada mereka.
Lembaga penegak hukum diharuskan membentuk satuan polisi khusus untuk perempuan dengan personel polisi perempuan terlatih untuk mengidentifikasi kasus kekerasan.
Pengumuman tersebut dipandang sebagai kemenangan bagi para pendukung hak-hak perempuan di Iran yang telah berkampanye untuk undang-undang semacam itu sejak lebih dari satu dekade. Pada masa pemerintahan mantan presiden Mahmoud Ahmadinejad (2005-2013), RUU tersebut telah dirancang tetapi tidak pernah diusulkan ke parlemen untuk pemungutan suara.
Pada 2013, ketika pemerintahan Presiden Hassan Rouhani mengambil alih, rancangan undang-undang tersebut mendapat secercah harapan. Wakil presiden urusan perempuannya, Shahindokht Molaverdi, mengambil alih pekerjaan itu.
Pada September 2019, peradilan negara mengatakan peninjauan telah selesai, dan RUU tersebut kemudian diserahkan ke Kabinet untuk disetujui. Masalah kekerasan terhadap perempuan di Iran, meskipun terselubung dalam kerahasiaan karena keengganan perempuan untuk melaporkannya, dalam beberapa kesempatan jarang menimbulkan kemarahan di negara tersebut.
Peristiwa pemenggalan kepala remaja Romina Ashrafi, yang diduga dilakukan oleh ayahnya pada Mei tahun lalu diberitakan secara luas di media nasional dan internasional, dan mendorong pihak berwenang untuk bertindak cepat. Kasus itu mendorong lebih banyak seruan dari para aktivis dan anggota parlemen untuk mempercepat pengerjaan RUU tersebut.
Iran merupakan salah satu negara yang belum meratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah telah mengambil tindakan untuk kesejahteraan perempuan dan keluarga serta skema untuk memberdayakan mereka secara ekonomi.