REPUBLIKA.CO.ID, SAN DIEGO -- Perempuan asal San Diego, Amerika Serikat (AS) yang tewas ditembak polisi saat menyerbu masuk Capitol Hill menyuarakan klaim kecurangan pemilu di media sosialnya. Seperti Donald Trump, Ashli Babbitt menyebarkan klaim kecurangan pemilihan 3 November di Twitter.
"Tidak akan ada yang menghentikan kami, mereka bisa mencobanya lagi dan lagi tapi badai di sini dan tiba di DC kurang dari 24 jam, dari gelap ke terang," cicitnya pada Kamis (7/1) kemarin sebelum ia dan ribuan pendukung Trump lainnya mengepung Capitol Hill untuk mempertahankan kekuasaan presiden.
Polisi mengidentifikasi Babbitt sebagai perempuan yang ditembak seorang petugas. Sebuah rekaman video memperlihatkan perempuan 35 tahun itu mencoba memanjat jendela pecah di dalam Gedung Kongres.
Walaupun sejumlah orang yang percaya pada konspirasi teori mengenai virus corona dan pemilihan umum menganggapnya sebagai martir, tapi Kepala Kepolisian Capitol Steven A. Sund mengatakan massa yang terlibat dalam penyerbuan melakukan 'tindakan kriminal berbahaya' bukan kebebasan berbicara.
Di media sosial, Babbitt kerap mengoceh tentang target-target serangan Trump seperti imigrasi, mandat pemerintah menahan penyebaran virus, dan para kritikus Trump.
Di Twitter, perempuan tersebut menyebarkan pandangan konservatif arus utama tapi juga menyinggung teori konspirasi QAnon. QAnon adalah kepercayaan tanpa dasar yang yakin Trump sedang diam-diam memerangi pemuja setan pemakan manusia yang menjalankan kejahatan seksual anak di dalam pemerintahan.
Babbitt adalah veteran Angkatan Udara dan mengidentifikasi dirinya sebagai Libertarian. Ia mendukung Amandemen Kedua, hak warga negara Amerika menyimpan dan memiliki senjata api.
Ia kerap mengunggah kembali klaim kecurangan pemilu yang disampaikan Trump dan pendukung-pendukungnya yang paling ekstrem. Video yang ia unggah di internet menunjukkan ia mencela imigran. Terkadang unggahannya tidak senonoh.
Babbitt juga memandang kebijakan pemakaian masker menekan kebebasan pribadinya. Ia menarik kembali dukungan pada Gubernur Kalifornia Gavin Newsom karena memberlakukan peraturan pembatasan sosial yang ketat.
Pada Agustus 2016, ia didakwa atas tuduhan membahayakan orang lain usai memukul mobil seorang perempuan tiga kali dan mengejarnya di jalan atas apa yang ia sebut 'perselisihan di jalan'. Ia dibebaskan beberapa bulan kemudian.