REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA - Kelompok pembela hak asasi Rohingya memperkukuh tuntutannya agar Facebook menghentikan langkah militer Myanmar yang merekrut anggota lewat platform media sosial tersebut. Dorongan itu dilakukan setelah Facebook menangguhkan akun Presiden AS Donald Trump karena menghasut kekerasan.
Sekaligus, kelompok itu mendesak Facebook untuk menghentikan promosi bisnis akun militer Myanmar tersebut—keuntungan yang diperoleh untuk mendanai genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan, ujar dia.
Sekitar 1,2 juta Muslim Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh, setelah tindakan keras militer Myanmar dan saat ini berlindung sementara di Cox's Bazar, Bangladesh.
“[Akun] Donald Trump telah ditangguhkan karena menghasut kekerasan, tapi militer Burma melakukan kekerasan terhadap warga sipil setiap hari dan bebas menggunakan Facebook untuk merekrut tentara dan melakukan kekerasan itu,” ujar Mark Farmaner, Direktur Kampanye Burma Inggris.
“Perusahaan milik militer diizinkan menggunakan Facebook untuk mempromosikan produk, yang keuntungannya mendanai militer dan membantu mendanai pelanggaran hukum internasional, termasuk genosida Rohingya,” imbuh dia.
Facebook menghadapi kritik keras karena gagal menangani ujaran kebencian terhadap Rohingya dan minoritas lainnya di Burma, dan telah menghapus sejumlah laman militer, termasuk Min Aung Hlaing, kepala militer. Namun sejumlah laman Facebook militer masih aktif, termasuk beberapa dengan centang biru Facebook resmi.
Kampanye Burma Inggris meminta Facebook untuk memastikan laman-laman tersebut tidak digunakan untuk perekrutan, dan tak ada aksi apapun, kata dia.
Militer Burma memiliki kepentingan ekonomi yang signifikan di Myanmar, memiliki perusahaan yang terlibat dalam berbagai macam produk termasuk bir, jaringan telepon seluler, teh, semen, dan ruang dansa. Ada lusinan laman untuk perusahaan yang mempromosikan produk milik militer Burma itu, kata kelompok hak asasi manusia itu.
Facebook belum bertindak atas permintaan Kampanye Burma Inggris untuk menghapus halaman-halaman itu, meskipun ada laporan PBB yang merinci bagaimana perusahaan milik militer membantu mendanai pelanggaran hukum internasional.
“Facebook tampaknya memiliki standar ganda,” kata Farmaner. “Jika Anda menghasut kekerasan di Amerika, Anda akan dilarang dari Facebook, tetapi jika Anda merekrut orang untuk melakukan kekerasan di Burma, Anda masih mendapatkan centang biru resmi Facebook.”
Kelompok Teraniaya
Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, mayoritas perempuan, dan anak-anak melarikan diri dari Myanmar kemudian menyeberang ke Bangladesh, setelah pasukan Burma melancarkan tindakan keras terhadap komunitas Muslim minoritas pada Agustus 2017.
Sejak 25 Agustus 2017, hampir 24.000 Muslim Rohingya telah dibunuh oleh pasukan negara Myanmar, menurut laporan Ontario International Development Agency (OIDA).
Lebih dari 34.000 Rohingya dilempar ke dalam api, lebih dari 114.000 lainnya dipukuli dan 18.000 perempuan Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar, kata laporan OIDA, berjudul Migrasi Paksa Rohingya: Pengalaman yang Tak Terungkap. Selain itu lebih dari 115.000 rumah Rohingya dibakar dan 113.000 lainnya dirusak, tambah laporan itu.