Organisasi B'Tselem mencatat warga Palestina yang hidup di bawah kontrol Israel memiliki hak yang lebih sedikit ketimbang bangsa Yahudi. "Ini bukanlah demokrasi ditambah pendudukan. Ini adalah sistem apartheid di antara sungai (Yordan) dan laut (Tengah),” kata direktur organisasi, Hagai el-Ad.
Bahwa sebuah organisasi ternama di Israel mengadopsi istilah yang selama ini dianggap tabu itu, dinilai mengindikasikan pergeseran dalam diskursus nasional tentang pendudukan separuh abad terhadap Palestina, ketika harapan atas solusi dua negara semakin meredup.
Peter Beinart, seorang tokoh Yahudi Amerika, sempat memicu kontroversi serupa tahun lalu ketika mengusulkan sebuah negara binasional, dengan kesetaraan hak bagi Yahudi dan warga Palestina.
Israel selama ini membanggakan diri sebagai negara demokrasi di Timur Tengah, di mana warga Palestina yang mewakili 20% populasi menikmati kesetaraan hak. Namun begitu sebagian warga Palestina tetap terdaftar sebagai "penduduk” bukan "warga negara” dengan hak pilih.
B'Tselem berdalih, dengan memecah belah dan secara tidak langsung menguasai wilayah Palestina, Israel menutupi realita bahwa sekitar tujuh juta warga Yahudi dan tujuh juta bangsa Palestina hidup di bawah satu sistem dengan ketimpangan yang besar.
"Intinya adalah tidak ada satu titik pun di antara sungai dan laut, di mana warga Palestina menikmati kesetaraan hak dengan warga Yahudi,” kata el-Ad.
"Pendudukan,” tapi bukan "apartheid”
Istilah Apartheid diperkenalkan pemerintahan kulit putih Afrika Selatan pasca Perang Dunia II. Sistem tersebut memisahkan kaum kulit putih dengan warga kulit hitam, dan memberlakukan kasta sosial berdasarkan warna kulit.
Mahkamah Kriminal Internasional mendefinisikan Apartheid sebagai sebuah "rezim opresi dan dominasi secara sistematik oleh satu kelompok ras.”
"Tidak ada negara lain di dunia yang lebih jelas mengadopsi kebijakan Apartheid ketimbang Israel,” kata Nabil Shaath, penasehat senior Presiden Palestina, Mahmoud Abbas.
Pemerintah Israel sendiri menolak dituduh menjalankan apartheid. Itay Milner, diplomat Israel di AS, mengatakan kebanyakan warga Palestina hidup di bawah pemerintahan otoritas Palestina, dan pembatasan atau blokade hanya bersifat sementara.
Menurutnya B'Tselem adalah "alat lain bagi mereka untuk mempromosikan agenda politik tertentu,” katanya, sembari menambahkan warga Arab diwakili di hampir semua lembaga pemerintahan, termasuk korps diplomatik.
Sementara Eugene Kontorovich, Direktur Forum Kohelet, sebuah wadah pemikir di Yerusalem, menilai bahwa pemerintahan independen Palestina membuat tuduhan Apartheid "tidak bisa diaplikasikan,” dan menilai laporan B'Tselem "lemah, tidak jujur dan menyesatkan.”
Hal senada diungkapkan Presiden Persatuan Kongregasi Yahudi Amerika, Rabi Rick Jacobs. Laku Israel di Palestina diakui merupakan sebuah "penyakit moral” dan "pendudukan,” tapi bukan Apartheid, kata pria yang memimpin lembaga dengan 1,5 juta anggota itu.
"Bagi banyak pihak di dunia internasional, ungkapan itu diiringi keyakinan bahwa Israel tidak berhak untuk eksis,” kata dia. "Jika tuduhannya adalah apartheid, maka itu bukan cuma kritik yang tajam, tetapi kritik yang mengancam eksistensi.”
rzn/pkp (ap, afp)