REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR - Mantan perdana menteri Malaysia Mahathir Mohamad berpendapat bahwa presiden terpilih Amerika Serikat Joe Biden bisa meningkatkan hubungan dengan negara-negara Asia dan mengakhiri "perang dagang konyol" dengan China.
"Saya berharap pemerintahannya berbeda dari (Presiden Donald) Trump, karena Trump tidak tahu apa-apa tentang Asia Tenggara," kata Mahathir dalam wawancara yang direkam pada 7 Januari dan disiarkan Reuters Next pada Kamis.
"Trump dahulu menentang hampir setiap negara. Tetapi sekarang saya pikir Biden ingin membalikkan kebijakan itu dan memiliki pemahaman atau hubungan persahabatan dengan banyak negara, yang pada masa lalu cukup mendukung Amerika," Mahathir melanjutkan.
Biden telah mengatakan pada November bahwa AS akan "siap untuk memimpin" lagi di panggung global ketika ia secara resmi mengambil alih pemerintahan pada 20 Januari mendatang. Sikap Biden itu muncul setelah dunia bergulat dengan kebijakan "Dahulukan Amerika" yang diusung Trump yang memusuhi sekutu-sekutu serta memicu perang dagang dengan China.
"Saya tidak percaya dia akan melanjutkan perang perdagangan konyol dengan China ini. Seharusnya ada beberapa upaya untuk mungkin menyelesaikan beberapa masalah ketidakseimbangan dalam perdagangan, tetapi perang dagang bukanlah sesuatu yang saya pikir Biden akan lanjutkan," ujar Mahathir, yang pada 2018 menjadi perdana menteri tertua di dunia dengan menjabat pada usia 93 tahun.
Dua ekonomi terbesar dunia itu telah berselisih sejak Juli 2018 atas tuntutan AS agar China membuat perubahan kebijakan yang akan lebih melindungi kekayaan intelektual Amerika dan membuat pasar China lebih dapat diakses oleh perusahaan AS. Perang dagang kedua negara telah merusak pertumbuhan global dan rantai pasokan selama lebih dari dua tahun terakhir.
Mahathir mengatakan Malaysia, seperti kebanyakan negara, perlu lebih sensitif terhadap apa yang diinginkan China karena kekuatan besar Asia itu terlalu besar untuk dihadapi menyangkut berbagai masalah, seperti ketidakseimbangan perdagangan atau pelanggaran hak asasi manusia.
"China tidak memperlakukan Muslim di sana dengan baik, tetapi kami tidak dapat menghadapi mereka. Kami harus sangat berhati-hati dengan cara kami menangani China," tutur dia.