REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Mahasiswa dan aktivis di Filipina, Selasa, berunjuk rasa menentang keputusan pemerintah yang mengizinkan kepolisian dan tentara untuk berpatroli di area Universitas of the Philippines (UP). Keputusan itu diambil pemerintah setelah otoritas setempat menuduh kampus tersebut jadi tempat merekrut anggota kelompok pemberontak komunis.
Pemerintah Filipina, di bawah pimpinan Presiden Rodrigo Duterte, berupaya memberantas pasukan pemberontak Maois. Kelompok itu meluncurkan aksi pemberontakan terlama di dunia yang menyebabkan lebih dari 40 ribu orang tewas.
Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui laporan tertulisnya memperingatkan pemerintah mengenai ancaman di balik aksi labelisasi orang atau kelompok tertentu sebagai komunis atau teroris. PBB menyebut aksi tersebut dapat memicu kerusuhan yang telah terjadi di beberapa daerah di Filipina.
Walaupun demikian, Pemerintah Filipina pada Senin malam (18/1) membatalkan kesepakatan yang mencegah tentara dan polisi masuk 17 kampus University of the Philippines tanpa izin, kecuali di tengah situasi darurat atau ada pengejaran terhadap tersangka pidana tertentu.
"Keputusan ini merupakan upaya menindas, mengancam, dan mencelakai para aktivis, anak muda, mahasiswa, dan pihak lain yang mereka sebut sebagai komunis, teroris, dan ini akan membuka pintu bagi militerisasi di kampus," kata sekretaris kelompok pembela hak asasi manusia sayap kiri, Eleanor de Guzman, saat berorasi di depan 100 demonstran.
Menteri Pertahanan Filipina, Delfin Lorenzana, melalui pernyataan tertulisnya mengatakan, UP, universitas yang telah berusia 112 tahun, telah menjadi "tempat bagi orang-orang dan kelompok berideologi ekstrem merekrut para mahasiswa untuk melawan pemerintah".