Rabu 27 Jan 2021 01:54 WIB

PBB: Pandemi Persulit Upaya Perdamaian

Seruan untuk gencatan senjata global sebagian besar telah diabaikan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Gita Amanda
 Seorang penjaga perdamaian Rusia masuk ke Dadivank, sebuah biara Gereja Apostolik Armenia yang berasal dari abad ke-9, setelah pengalihan wilayah Kalbajar ke kendali Azerbaijan, sebagai bagian dari kesepakatan damai yang mengharuskan pasukan Armenia untuk menyerahkan wilayah Azerbaijan yang mereka pegang di luar. Nagorno-Karabakh, dekat Kalbajar, Azerbaijan, Rabu, 2 Desember 2020.
Foto: AP/Emrah Gurel
Seorang penjaga perdamaian Rusia masuk ke Dadivank, sebuah biara Gereja Apostolik Armenia yang berasal dari abad ke-9, setelah pengalihan wilayah Kalbajar ke kendali Azerbaijan, sebagai bagian dari kesepakatan damai yang mengharuskan pasukan Armenia untuk menyerahkan wilayah Azerbaijan yang mereka pegang di luar. Nagorno-Karabakh, dekat Kalbajar, Azerbaijan, Rabu, 2 Desember 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menganggap pandemi Covid-19 menghambat diplomasi dan menciptakan komplikasi bagi upaya perdamaian. Seruan untuk gencatan senjata global sebagian besar telah diabaikan.

Krisis kesehatan dilihat oleh sebagian pihak sebagai kesempatan untuk maju ke medan perang, atau untuk menopang kebijakan yang menindas rakyatnya sendiri. Sementara itu, kaum muda sangat terpengaruh oleh banyaknya kehilangan pekerjaan. Adapun perempuan telah menanggung beban peningkatan yang signifikan dalam tingkat kekerasan rumah tangga.

Baca Juga

Wakil Sekjen Urusan Politik dan Pembangunan Perdamaian PBB Rosemarie DiCarlo menyampaikan situasi dampak pandemi pada perdamaian dan keamanan di seluruh dunia kian memburuk. Dewan Keamanan PBB terakhir membahasnya empat bulan lalu.

DiCarlo mengingatkan lebih dari dua juta orang di seluruh dunia telah meninggal akibat Covid-19, lebih dari 100 juta telah terinfeksi oleh penyakit tersebut. Bahkan varian baru dari virus tersebut kian mengancam umat manusia.

"Pandemi telah memperburuk ketidaksetaraan dan korupsi, melahirkan informasi yang salah, stigmatisasi dan ujaran kebencian, dan menciptakan ketegangan dan meningkatkan risiko ketidakstabilan,” kata DiCarlo dilansir dari Arab News pada Selasa (26/1).

DiCarlo meninjau implementasi Resolusi Dewan Keamanan 2532, yang dengan suara bulat diadopsi pada Juli tahun lalu. Resolusi itu sebagai tanggapan atas seruan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk gencatan senjata global hingga semua negara dapat fokus memerangi virus.

Meskipun banyak negara menyatakan dukungan publik atas seruan itu, tapi dalam praktiknya sebagian besar tidak didengarkan. Konflik yang ada terus berkecamuk dan konflik baru meletus, seperti perang antara Armenia dan Azerbaijan atas wilayah Nagorno-Karabakh.

Namun, DiCarlo mengatakan seruan Guterres berhasil menambah momentum pada proses perdamaian di beberapa negara. Dia menyoroti situasi di Libya sebagai contoh.

"Bagaimana keterlibatan politik yang berkelanjutan, dukungan yang lebih terpadu dari komunitas internasional, dan komitmen para pihak dapat mengarah pada kemajuan yang nyata," ujar DiCarlo.

DiCarlo memuji penandatanganan perjanjian gencatan senjata di negara itu pada Oktober lalu sebagai pencapaian besar. Komisi Militer Gabungan 5 + 5, yang mencakup lima perwakilan dari masing-masing pihak yang bersaing dalam konflik tengah mengerjakan mekanisme pemantauan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement