REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN - Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif, menyatakan Amerika Serikat (AS) harus bertindak terlebih dulu dengan kembali ke kesepakatan nuklir 2015, Kamis (28/1). Washington telah keluar dari Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada 2018.
“Pemeriksaan realitas untuk @SecBlinken, AS melanggar JCPOA, makanan/obat-obatan yang diblokir untuk Iran, dihukum kepatuhan terhadap UNSCR 2231. Sepanjang kekacauan kotor itu, Iran, ditambatkan oleh JCPOA, hanya mengambil langkah-langkah perbaikan yang diperkirakan,” kata Zarif.
Menteri Luar Negeri AS yang baru, Antony Blinken, menegaskan kembali kebijakan Presiden Joe Biden bahwa Teheran harus melanjutkan pembatasan aktivitas nuklirnya berdasarkan kesepakatan sehari sebelum pernyataan itu muncul. Setelah Teheran melakukan pembatasan, Washington baru akan bergabung kembali dengan pakta yang diabaikan pada era presiden Donald Trump.
Zarif kembali menuduh Washington telah secara ilegal melarang impor barang kebutuhan ke Iran setelah Trump memberlakukan kembali sanksi terhadap Iran. Sementara Teheran telah melanggar batas aktivitas pengayaan uranium hanya sebagai tanggapan atas penolakan Trump terhadap perjanjian tersebut.
“Sekarang, siapa yang harus mengambil langkah pertama? Jangan pernah melupakan kegagalan maksimum Trump," ujar Zarif di Twitter.
Kesepakatan 2015 mencabut sanksi terhadap Iran dengan imbalan pembatasan program nuklirnya yang disengketakan. Setelah Trump keluar dari JCPOA, Iran melanggar ketentuannya dalam tanggapan terhadap kebijakan tekanan maksimum Trump.
Pada Desember, parlemen Iran mengeluarkan undang-undang yang memaksa pemerintah untuk memperkuat sikap nuklirnya jika sanksi AS tidak dikurangi dalam dua bulan. Awal bulan ini, Iran kembali memperkaya uranium hingga 20 persen kekuatan fisil di pabrik nuklir bawah tanah Fordow, tingkat yang dicapai Teheran sebelum kesepakatan 2015.
Upaya Iran sebelumnya telah melanggar batas kesepakatan 3,67 persen kemurnian yang dapat dimurnikannya uranium. Namun, sejauh ini hanya naik hingga 4,5 persen, jauh di bawah level 20 persen dan dari 90 persen yang dibutuhkan untuk bahan bakar bom atom.
Undang-undang baru tersebut juga mewajibkan Organisasi Energi Atom Iran untuk memproduksi 120 kilogram dari 20 persen uranium yang diperkaya setiap tahun. Namun, ketua parlemen Mohammad Baqer Qalibaf mengatakan bahwa Iran telah melampaui jadwal dengan memproduksi lebih dari 17 kilogram dalam sebulan.