Senin 01 Feb 2021 03:34 WIB

Rusia Tangkap Lagi Ratusan Pendemo Pembebasan Alexei Navalny

Lebih dari 300 orang telah ditahan dalam aksi tuntut pembebasan Alexei Navalny

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nur Aini
Demonstrasi pembebasan Elexei Navalny di Rusia, ilustrasi
Foto: Martin Shipenkov/EPA
Demonstrasi pembebasan Elexei Navalny di Rusia, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW – Polisi Rusia kembali menangkap ratusan pengunjuk rasa dalam demonstrasi lanjutan menuntut pembebasan pemimpin oposisi Alexei Navalny pada Ahad (31/1). OVD-Info, sebuah kelompok pemantau, mengatakan lebih dari 300 orang telah ditahan dalam aksi tersebut.

Pasukan keamanan juga menahan Yulia Navalnaya, istri Navalny. Yulia juga ditahan ketika turun aksi untuk mendukung suaminya pekan lalu.

Demonstrasi pertama berlangsung di wilayah Far East, yang merujuk pada kota paling Timur dari Rusia. Itu termasuk kota pelabuhan Vladivostok tempat para pengunjuk rasa berkumpul di alun-alun pusat kota meskipun polisi menutupnya menjelang demonstrasi.

"Keinginan untuk hidup di negara bebas lebih kuat daripada rasa takut ditahan," kata Andrei (25 tahun) salah seorang demonstrasi seperti dilansir dari Aljazirah pada Ahad (31/1).

Video amatir dari Vladivostok menunjukkan puluhan pengunjuk rasa melarikan diri dari kejaran polisi di perairan beku Teluk Amur. Lebih dari 100 demonstran ditangkap ketika itu.

Video yang diunggah di media sosial tersebut menunjukkan para demonstran diangkut ke dalam mobil polisi. Sebagian besar pengunjuk rasa juga terus meneriakkan “Putin adalah pencuri” dan “Kebebasan untuk Rusia”.

Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Irina Volk mengecam para demonstran. Menurutnya, provokasi telah meningkat dan aksi demonstrasi telah melanggar ketertiban sipil.

”Dalam situasi ini, keamanan pribadi Anda bisa terancam. Kami menyarankan agar Anda memperingatkan anak di bawah umur, kerabat dan kenalan untuk tidak terlibat dalam aksi illegal ini,” kata Volk.

Yulia, seorang pengunjuk rasa berusia 40 tahun di Moskow, mengatakan tetap ikut berdemo meski semalaman dilanda serangan panik karena khawatir akan ditangkap atau menerima sanksi dari rezim.

“Saya paham bahwa saya hidup dalam keadaan tanpa hukum sama sekali. Di negara polisi, tanpa pengadilan independen. Di negara yang dikuasai korupsi. Saya ingin hidup berbeda,” kata dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement