REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Peneliti Myanmar Studies Program di Institute of Southeast Asian Studies, Singapura, Romain Caillaud mengatakan, konsekuensi militer Myanmar atau Tatmadaw atas kudeta yang mereka lakukan kali ini akan mengerikan. Caillaud mengatakan, demokrasi di Myanmar mengalami kemunduran.
"Sepuluh tahun usai transisi demokrasi dimulai, negara ini mengalami kemunduran besar dengan Tatmadaw mengumpulkan pemimpin politik terpilih termasuk Aung San Suu Kyi dan anggota senior National League for Democracy (NLD) lainnya," kata Caillaud seperti dikutip Deutsche Welle, Senin (1/2).
"Konsekuensinya akan mengerikan, ini dunia yang berbeda dari tahun 1988, dengan globalisasi, media sosial, Covid-19, pemerintahan Amerika Serikat (AS) yang baru dan ambisi infrastruktur China, serangan balik pada Tatmadaw akan keras," ujarnya.
Pada tahun 1988, mahasiswa Myanmar menggelar unjuk rasa di seluruh negeri. Junta militer memprakarsai penindakan mematikan. Tekanan pada demokrasi tahun itu juga membangkitkan partai penguasa NLD.
Caillaud mengatakan, motivasi Tatmadaw atas kudeta kali ini masih 'sulit untuk dipahami'. Tetapi mungkin terjadi karena 'rusaknya kepercayaan dan komunikasi antara' militer dan NLD, rasa frustasi dalam pengelolaan konflik yang sedang berlangsung di Rakhine dan kecurigaan terhadap Konstitusi 2008.
Baca juga : Lima Bukti Alquran adalah Perkataan Allah
Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi dan sejumlah tokoh senior lainnya dari partai berkuasa ditangkap dalam penggerebekan Senin (1/2) dini hari. Kabar penangkapan Aung San Suu Kyi disampaikan juru bicara NLD.
Penangkapan berlangsung setelah beberapa hari ketegangan antara pemerintahan sipil dan militer berpengaruh meningkat yang menimbulkan kekhawatiran kudeta pasca pemilu. Militer menyebutkan bahwa pemilu di Myanmar diwarnai kecurangan.