Senin 01 Feb 2021 13:15 WIB

Jepang tak Berencana Pulangkan Warganya dari Myanmar

Jepang meminta warganya di Myanmar tetap berada di rumah

Rep: Dwina Agustin/Rizki Jaramaya/ Red: Nur Aini
Tampilan luar Balai Kota Yangon yang berada di bawah kendali militer Myanmar, di Yangon, Myanmar, Senin (1/2/2021). Menurut laporan media, anggo.ta senior Liga Nasional untuk Demokrasi, termasuk pemimpin Aung San Suu Kyi, sedang ditahan oleh militer
Foto: EPA-EFE / LYNN BO BO
Tampilan luar Balai Kota Yangon yang berada di bawah kendali militer Myanmar, di Yangon, Myanmar, Senin (1/2/2021). Menurut laporan media, anggo.ta senior Liga Nasional untuk Demokrasi, termasuk pemimpin Aung San Suu Kyi, sedang ditahan oleh militer

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Kementerian Luar Negeri Jepang menyatakan tidak memiliki rencana untuk memulangkan warganya dari Myanmar dan meminta untuk berdiam diri di rumah, Senin (1/2). Militer Myanmar diduga sedang melakukan kudeta usai menangkap pemimpin Aung San Suu Kyi.

Tentara Myanmar mengumumkan keadaan darurat pada Senin (1/2). Militer mengatakan melakukan penahanan terhadap para pemimpin senior pemerintah sebagai tanggapan atas penipuan selama pemilihan umum tahun lalu.

Baca Juga

Diperkirakan ada 3.500 orang Jepang di Myanmar, tetapi karena pandemi virus korona, Tokyo telah menyarankan warganya untuk menunda perjalanan. Kondisi itu tetap berlaku meski kudeta sedang terjadi.

Kedutaan Besar Jepang di Myanmar, dalam sebuah pesan yang diposting di situs Kementerian Luar Negeri, mengatakan meskipun situasi di negara tersebut tidak biasa, tampaknya tidak akan melibatkan orang biasa. Hanya saja, mereka menghimbau untuk warganya harus berhati-hati.

"Kami mendorong orang untuk tetap di dalam dan menahan diri dari keluar kecuali benar-benar penting," ujar pernyataan Kedutaan Jepang di Myanmar.

Baca juga : Konsekuensi Kudeta Militer Myanmar akan Mengerikan

Penahanan para politisi dan pemotongan layanan komunikasi pada Senin di Myanmar adalah sinyal pertama bahwa rencana untuk merebut kekuasaan oleh militer sedang berjalan. Akses telepon dan internet ke Naypyitaw hilang dan partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NDL) Suu Kyi tidak dapat dihubungi.

Amerika Serikat (AS), Australia, dan lainnya mengeluarkan pernyataan yang mengungkapkan laporan keprihatinan dan mendesak militer Myanmar untuk menghormati aturan hukum. "AS khawatir dengan laporan bahwa militer Burma telah mengambil langkah-langkah untuk merusak transisi demokrasi negara itu, termasuk penangkapan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dan pejabat sipil lainnya di Burma," kata juru bicara Gedung Putih, Jen Psaki merujuk pada nama lama Myanmar, Burma.

Psaki mengatakan Presiden Joe Biden telah diberitahu tentang perkembangan yang dilaporkan. "AS menentang segala upaya untuk mengubah hasil pemilu baru-baru ini atau menghalangi transisi demokrasi Myanmar, dan akan mengambil tindakan terhadap mereka yang bertanggung jawab jika langkah-langkah ini tidak dibatalkan," kata pernyataan itu.

Menteri Luar Negeri Australia, Marise Payne, menyerukan pembebasan Suu Kyi dan pejabat lainnya yang dilaporkan ditahan. “Kami sangat mendukung berkumpulnya kembali Majelis Nasional secara damai, sesuai dengan hasil pemilihan umum November 2020,” katanya. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement