REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Sejumlah analis bisnis memperkirakan bahwa kudeta militer di Myanmar akan merusak perekonomian negara. Kudeta militer telah membahayakan investasi asing senilai miliaran dolar AS.
Vriens & Partners adalah konsultan pemerintah yang saat ini menangani proyek investasi asing senilai 3 miliar dolar AS hingga 4 miliar dolar AS di Myanmar. Proyek investasi asing tersebut mencakup bidang energi, infrastruktur dan telekomunikasi. Managing Partner Vriens & Partners, Hans Vriens mengatakan, saat ini semua investasi asing di Myanmar sangat berisiko.
"Negara ini telah terpukul oleh pandemi Covid-19 dan berkurangnya keinginan untuk berinvestasi. Dan sekarang kita punya masalah yang lebih besar lagi," ujar Vriens, dilansir BBC, Selasa (2/2).
Amerika Serikat (AS) mempertimbangkan untuk menjatuhkan sanksi kepada Myanmar. Sanksi ini dapat berdampak signifikan pada investasi asing. Perusahaan Barat dan Jepang mulai ragu untuk melanjutkan proyek mereka di Myanmar. Sementara, Vriens mulai mempertimbangkan untuk mengalihkan investasi ke China.
"Ini (China) satu-satunya negara yang bisa mereka (investor) tuju," ujar Vriens.
Seorang pengusaha yang berbasis di Yangon mengatakan, kondisi Myanmar ketika terjadi kudeta militer sejauh ini masih stabil karena tidak diwarnai dengan kerusuhan. Namun kudeta dapat berdampak besar pada perekonomian, terutama efek sanksi dari barat. Namun, efek sanksi dapat dibatasi karena sebagian besar investasi asing berasal dari Asia.
Baca juga : Militer Myanmar Serahkan Kekuasaan Setelah Masa Darurat Usai
"Ini akan berdampak psikologis, tetapi kami tidak pernah bergantung pada investasi barat," ujar pengusaha yang tidak mau disebutkan namanya itu.
Menurut Bank Dunia, Singapura adalah investor asing terbesar di Myanmar pada tahun lalu. Investasi Singapura menymbang 34 persen dari keseluruhan investasi asing yang diizinkan. Kemudian, negara terbesar kedua adalah Hong Kong dengan 26 persen.
Komitmen Investasi Asing Langsung (FDI) ke Myanmar bernilai 5,5 miliar dolar AS pada tahun fiskal 2020, yang berakhir pada September. Real estate dan manufaktur masing-masing menyumbang sekitar 20 persen. Namun, angka-angka tersebut diperkirakan turun pada tahun ini karena pandemi Covid-19.