REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ahli dan aktivis mengatakan kudeta di Myanmar akan memiliki dampak terhadap situasi keamanan di ASEAN.
Priyambudi Sulistyanto, pakar Asia Tenggara dari Flinders University, Australia, mengatakan jika krisis di Myanmar dibiarkan berlarut, maka kondisi ini bisa mengguncang stabilitas di ASEAN.
Gangguan stabilitas itu, kata dia, seperti kembali terjadinya krisis Rohingya atau kaburnya warga Myanmar ke luar negeri seperti terjadi saat krisis politik pada 1988.
“Masalah minoritas masih tidak selesai sampai sekarang seperti Rohingya, Kachin, Karen, dan lain sebagainya. Ini juga mewarisi masalah yang tidak selesai saat zamannya Aung San Suu Kyi,” ujar Priyambudi dalam diskusi virtual pada Kamis (4/2).
Priyambudi mengharapkan bisa proaktif dalam menyelesaikan krisis ini. Namun, kata dia, ASEAN selalu kesulitan merespons isu-isu HAM di kawasan. Hal itu terjadi karena ASEAN memegang prinsip non-interference atau tidak ikut campur urusan politik internal negara-negara anggota.
“Anggota ASEAN juga terbelah menyikapi kudeta,” kata dia.
Dalam kesempatan sama, Rachel Arinii, Manajer Program Asia Timur dan ASEAN Forum Asia, menghargai seruan ASEAN yang meminta Myanmar melakukan rekonsiliasi untuk menyelesaikan konflik. Namun, Rachel meminta agar ASEAN dapat berbuat konkret dengan menggelar pertemuan khusus antar kepala negara untuk membahas kudeta Myanmar.
Baca juga : Pertahanan Udara Suriah Respons Agresi Israel di Quneitra
“Akan ada pelanggaran HAM yang masif pasca kudeta,” ucap Rachel.
Rachel juga mengatakan ASEAN bisa meminta Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR) untuk menginvestigasi kudeta di Myanmar.
Senin lalu, Wakil Indonesia untuk AICHR Yuyun Wahyuningrum menyatakan tindakan militer Myanmar telah melanggar prinsip dalam Piagam ASEAN berkenaan dengan penegakkan pemerintahan yang konstitusional dan telah merusak proses demokratisasi yang telah susah payah diusahakan sejak 2011 di Myanmar.
Indonesia bisa selesaikan konflik