REPUBLIKA.CO.ID, TAIPEI -- Ratusan orang dari komunitas China-Myanmar di Taiwan menggelar unjuk rasa di pinggir kota Taipei. Demonstrasi ini sebagai protes kudeta militer di Myanmar dan dukungan mereka pada pemimpin Myanmar yang kini ditahan Aung San Suu Kyi.
Taiwan adalah rumah bagi 40 ribu orang yang berasal dari Myanmar, sebagian besar dari mereka beretnis China. Sebagian keturunan pasukan Nasionalis China yang terjebak di sana sejak perang sipil China berakhir pada 1949 dan sebagian lainnya mengungsi dari sentimen anti-China.
Pada Sabtu (6/2) para pengunjuk rasa memakai baju merah, warna partai National League for Democracy (NLD) yang dipimpin Suu Kyi. Mereka memegang foto wajahnya dan spanduk-spanduk yang bertuliskan kecaman terhadap kudeta militer dalam bahasa China, Myanmar dan Inggris. Sekitar 300 orang berkumpul di Little Burma, Taipei.
Usai berkumpul di luar alun-alun sebuah apartemen para pengunjuk rasa menyanyikan lagu demonstrasi pro-demokrasi Myanmar tahun 1988 'We Won’t Be Satisfied Until The End Of The World'. Unjuk rsa itu ditindak keras oleh pemerintahan militer.
Ko Ko Thu yang melarikan diri ke Taiwan karena menginisiasi unjuk rasa itu mengatakan ia terinspirasi oleh Taiwan. "Taiwan negara yang sangat demokratis, saya berharap di masa depan, bahkan setelah saya meninggal, Myanmar dapat demokratis seperti Taiwan," kata Ko Ko Thu yang tidak beretnis Cina.
Baca juga : Milter Myanmar Blokir Twitter dan Instagram
Warga etnis China di Myanmar memiliki kerap mendapatkan perlakukan diskriminatif. Terutama usai Jenderal Ne Win menguasai pemerintahan.
Ia melarang etnis China dan warga asing lainnya memiliki tanah, melarang pendidikan bahasa China dan menggelar kekerasan anti-China. Kerusuhan anti-China pecah pada 1967.
Salah satu pengunjuk rasa yang beretnis China tapi meminta diidentifikasi sebagai warga Myanmar, Yee juga melarikan diri ke Taiwan usai unjuk rasa 1988. Ia mengatakan, sangat penting baginya untuk menunjukkan sikap menentang kudeta. "Kami telah mengalami represi dari pemerintah militer selama lebih dari 30 tahun, kami tidak ingin kembali lagi ke sana," katanya.