REPUBLIKA.CO.ID, PHNOM PENH -- Salak asal Indonesia menjadi primadona di negeri Kamboja. Meskipun Kamboja merupakan negara agraris, negara tersebut masih mengimpor sayur dan buah dari beberapa negara lain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Produk pertanian dari Indonesia memasuki Kamboja, seperti pupuk, buah segar, dan alat berat. Namun, biaya transportasi yang dikeluarkan menjadi lebih mahal sehingga secara harga kalah bersaing dengan Vietnam, Thailand, dan China. Satu-satunya produk pertanian Indonesia yang dapat secara konsisten masuk ke pasar Kamboja adalah salak segar.
Keunggulan salak asal Indonesia adalah rasanya yang tidak dapat tidak dapat dijumpai di Vietnam dan Thailand. Menurut keterangan pers dari KBRI Phnom Penh, salak segar Indonesia pertama kali diimpor sejak 2016 dan terus meningkat sampai dengan 2019.
Pada 2019, impor salak Indonesia dapat dilakukan sebanyak 2 kali dalam seminggu dengan jumlah 5 ton per pekan. Dalam setahun, impor tersebut mencapai 480 ton. Untuk menjaga kualitas rasa dan kesegaran dari buah salak, kargo udara merupakan transportasi yang paling efisien.
Menurut Duta Besar RI Phnom Penh, Sudirman Haseng, "Salak merupakan salah satu komoditi Indonesia yang dapat diterima secara luas dengan baik dan menjadi salah satu alat diplomasi Indonesia di Kamboja," ujar Dita Besar RI untuk Phnom Penh Sudirman Haseng, Ahad (7/2).
Indonesia mengharapkan komoditi lainnya dapat segera menyusul popularitas salak dan tentu kedepannya dapat meningkatkan ekspor terutama untuk produk-produk pertanian dan perkebunan Indonesia. "Faktor konektivitas terutama melalui jalur udara pada masa pandemi merupakan salah satu kendala utama untuk mendorong ekspor produk perkebunan dan pertanian Indonesia," ujarnya.
KBRI Phnom Penh terus berupaya melakukan pendekatan dengan berbagai maskapai baik di Indonesia maupun Kamboja untuk membuka kargo khusus udara terutama untuk komoditas segar," ujarnya melanjutkan.
Pada awal 2020, impor salak hanya dapat dilakukan selama 2 bulan sebelum semua akses penerbangan ditutup akibat pandemi Covid-19. Impor yang semua dilakukan dua kali seminggu tersebut berubah menjadi satu kali sebulan, dan sehingga satu kali setiap tiga atau empat bulan tergantung ketersediaan charter flight khusus.
Penggunaan charter flight untuk mengimpor buah menyebabkan biaya transportasi yang sangat tinggi. Pada akhirnya, transaksi total sepanjang tahun 2020 tercatat hanya 30 ton. Pada awal Februari 2021, sebanyak 7 ton salak Indonesia dapat diimpor kembali masih menggunakan pesawat charter flight khusus.
Menurut data Kementerian Perdagangan Kamboja, total perdagangan Indonesia dan Kamboja tercatat pada 2020 688 juta dolar AS. Indonesia menjadi salah satu negara asal impor terbesar di Kamboja. Jumlah ini memiliki potensi untuk meningkat jika dapat diimbangi dengan ketersediaan transportasi langsung terutama kargo udara dari Indonesia ke Kamboja yang dapat menekan biaya transportasi.