REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Sekira puluhan ribu orang menyemut pada hari kedua unjuk rasa di Yangon, kota terbesar Myanmar, pada Ahad (7/2) waktu setempat. Ribuan lainnya juga melakukan aksi protes di seluruh negeri menuntut pembatalan kudeta militer dan penahanan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi.
Protes ini disebut demonstrasi terbesar di negara Myanmar sejak Revolusi Saffron yang dipimpin biksu Buddha pada 2007. Meski, internet dan saluran telepon padam, para pengunjuk rasa tetap mampu berkumpul menuntut pengambil alih kekuasaan oleh junta militer baru.
Para pengunjuk rasa di Yangon membawa balon-balon merah, warna yang mewakili Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Suu Kyi. "Kami tidak ingin kediktatoran militer! Kami ingin demokrasi!" demikian pekikan para pengunjuk rasa.
Pada Sabtu (6/2), puluhan ribu orang turun ke jalan dalam protes massal pertama sejak kudeta Senin (1/2). Kemudian Ahad (7/2) pagi ini, kerumunan, diperkirakan lebih besar dari kemarin, datang dari seluruh penjuru Yangon berkumpul di kota praja Hledan. Beberapa orang berjalan melewati lalu lintas yang macet dan berbaris di bawah sinar matahari yang cerah di tengah jalan.
Mereka mengibarkan bendera NLD dan memberi hormat tiga jari yang merupakan simbol protes terhadap kudeta. Pengemudi membunyikan klakson dan penumpang mengangkat foto pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Suu Kyi.
Baca juga : Melawan, Ribuan Orang Myanmar Turun ke Jalan Tolak Kudeta
Gambaran unjuk rasa yang tampak dalam siaran Facebook tersebut beberapa dari sedikit yang telah keluar dari negara itu sejak junta menutup internet dan membatasi saluran telepon pada Sabtu. Berbicara ketika dia mengambil video di jalan, penyiar mengatakan, mendapatkan informasi mungkin membantu menjaga keamanan para pengunjuk rasa.
Tidak ada komentar dari junta di ibu kota Naypyitaw, lebih dari 350 km (220 mil) utara Yangon. "Mereka sudah mulai mematikan internet, jika mereka lebih berkuasa, mereka akan lebih menekan pada pendidikan, bisnis, dan kesehatan," kata Thu Thu (57 tahun) yang ditangkap oleh junta sebelumnya selama protes pro-demokrasi di akhir 1980-an. "Inilah mengapa kami harus melakukan ini," katanya.