Senin 08 Feb 2021 15:03 WIB

Seruan Protes di Myanmar Meningkat Sepekan Setelah Kudeta

Aktivis menggunakan jaringan VPN untuk menggalang pengunjuk rasa.

Demonstran berkumpul untuk memprotes kudeta militer di Yangon, Myanmar, Sabtu (6/2). Ribuan orang ambil bagian dalam protes di Yangon.
Foto: EPA-EFE/LYNN BO BO
Demonstran berkumpul untuk memprotes kudeta militer di Yangon, Myanmar, Sabtu (6/2). Ribuan orang ambil bagian dalam protes di Yangon.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON  -- Para penentang kudeta Myanmar menyerukan lebih banyak aksi protes dan penghentian pekerjaan pada Senin setelah puluhan ribu orang bergabung dalam demonstrasi pada akhir pekan. Demonstrasi itu bertujuan untuk menentang pencopotan dan penahanan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi seminggu yang lalu.

Protes yang melanda Myanmar pada Ahad (7/2) adalah yang terbesar sejak Revolusi Saffron 2007 yang dipimpin oleh para biksu Buddha. Demonstrasi itu membantu mendorong reformasi demokrasi yang terhambat oleh kudeta 1 Februari.

Baca Juga

"Para demonstran dari setiap sudut Yangon, silakan keluar dengan damai dan bergabunglah dengan pertemuan rakyat," kata aktivis Ei Thinzar Maung di Facebook.

Dia menggunakan jaringan VPN untuk menggalang pengunjuk rasa meskipun ada upaya pihak junta militer untuk menutup akses jaringan media sosial. "Lokasi dan waktu akan diumumkan kemudian," kata Maung yang adalah mantan pemimpin mahasiswa.

Sejauh ini pertemuan berlangsung damai, tidak seperti peristiwa penumpasan berdarah selama protes luas sebelumnya di Myanmar pada 1988 dan 2007.

Baca juga : Melawan, Ribuan Orang Myanmar Turun ke Jalan Tolak Kudeta

Sebuah konvoi truk militer terlihat melintasi Yangon pada Minggu malam, menimbulkan rasa takut bahwa situasi bisa berubah. Reuters tidak dapat menghubungi junta untuk mengomentari protes tersebut dan televisi pemerintah belum menyebutkannya.

Panggilan mogok kerja

Pemerintah militer Myanmar mencabut larangan akses internet selama sehari pada akhir pekan yang memicu lebih banyak kemarahan publik.

Aktivis Myanmar, Maung Saungkha dan Thet Swe Win, mengunggah pernyataan di halaman Facebook mereka bahwa polisi telah mencari mereka. Namun mereka tidak ada di rumah dan sekarang masih bebas.

Selain protes di jalanan, sebuah kampanye pembangkangan sipil telah dimulai, pertama dengan mogok kerja para dokter dan diikuti oleh beberapa guru dan pegawai pemerintah lainnya. "Kami meminta staf pemerintah dari semua departemen untuk tidak hadir bekerja mulai Senin (8/2)," kata aktivis Min Ko Naing, seorang veteran demonstrasi tahun 1988 yang pertama kali membuat Suu Kyi terkenal.

Suu Kyi memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada 1991 untuk kampanye demokrasi, dan menghabiskan hampir 15 tahun menjadi tahanan rumah selama beberapa dekade berjuang untuk mengakhiri pemerintahan militer di Myanmar yang berlangsung hampir setengah abad.

Suu Kyi, 75, tidak dapat berkomunikasi sejak panglima militer Min Aung Hlaing merebut kekuasaan pada 1 Februari 2021 dini hari. Suu Kyi menghadapi dakwaan mengimpor enam walkie-talkie secara ilegal dan menjadi tahanan polisi untuk penyelidikan hingga 15 Februari. Pengacara Suu Kyi mengatakan dia belum diizinkan untuk menemui pemimpin pemerintahan sipil Myanmar itu.

Baca juga : Demo Myanmar Hari Ini Disebut Terbesar Sejak 2007

Kudeta oleh pihak militer Myanmar tersebut telah menuai kecaman internasional. Dewan Keamanan PBB pekan lalu menyerukan pembebasan Suu Kyi dan tahanan lainnya dan Amerika Serikat sedang mempertimbangkan sanksi tertentu untuk Myanmar.

"Para pengunjuk rasa di Myanmar terus menginspirasi dunia saat aksi protes menyebar ke seluruh negeri," kata pelapor khusus PBB untuk Myanmar Thomas Andrews melalui Twitter.

"Myanmar bangkit untuk membebaskan semua yang telah ditahan dan menolak kediktatoran militer untuk selamanya. Kami bersama anda," cicit Andrews.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement