REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat prihatin dengan perintah militer Myanmar yang membatasi pertemuan publik setelah tiga hari demonstrasi besar-besaran berlangsung untuk menentang kudeta militer 1 Februari. Demikian disampaikan juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengatakan, Senin (8/2).
"Kami mendukung rakyat Myanmar, mendukung hak mereka untuk berkumpul secara damai, termasuk memprotes secara damai untuk mendukung pemerintah yang dipilih secara demokratis," kata Price dalam jumpa pers.
Krisis di Myanmar, negara yang juga dikenal sebagai Burma, menandai ujian besar pertama dari janji Joe Biden untuk memprioritaskan hak asasi manusia dalam kebijakan luar negeri AS dan lebih banyak berkolaborasi dengan sekutu dalam tantangan internasional.
Amerika Serikat sedang merancang pembatasan beberapa bantuan bagi rakyat Myanmar pascakudeta militer dan mengancam akan menjatuhkan sanksi baru ke militer. "AS juga "bergerak cepat" untuk membentuk tanggapan terhadap pengambilalihan tersebut," kata Price.
Para pejabat AS telah mendorong tetangga Myanmar, China, secara publik dan pribadi untuk bergabung dengan kecaman global atas "tindakan anti demokrasi" militer Myanmar.
Baca juga : PBB Bahasa Gencatan Senjata Konflik Yaman dengan Iran