REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Menteri urusan vaksin Inggris Nadhim Zahawi menyatakan kesiapan vaksin penguat atau booster untuk Covid-19 di musim gugur. Tanggapannya muncul ketika negara-negara lain berlomba untuk memberikan suntikan menghadapi varian baru Covid-19.
Diketahui, dalam imunisasi ada istilah dosis primer dan dosis booster atau penguat. Beberapa vaksin membutuhkan booster karena proteksinya menurun dalam jangka waktu tertentu.
Inggris telah memberikan lebih dari 12 juta dosis pertama vaksin Covid-19. Inggris mengklaim berada di jalur yang tepat untuk memenuhi target memvaksinasi semua orang di kelompok paling rentan pada pertengahan Februari.
Di antara varian virus corona yang saat ini paling mengkhawatirkan para ilmuwan dan pakar kesehatan masyarakat adalah yang disebut varian Inggris, Afrika Selatan, dan Brasil. Zahawi menduga varian baru itu tampaknya menyebar lebih cepat.
"Kami melihat kemungkinan tahunan atau pendorong di musim gugur dan kemudian (vaksinasi) tahunan, seperti yang kami lakukan dengan vaksinasi flu di mana Anda melihat varian virus yang menyebar di seluruh dunia," kata Nadhim Zahawi dilansir dari BBC pada Selasa (9/2).
Pihak pembuat vaksin AstraZeneca mengatakan pada akhir pekan lalu vaksinnya yang dikembangkan dengan Universitas Oxford tampaknya hanya menawarkan perlindungan terbatas terhadap penyakit ringan yang disebabkan oleh varian Covid-19 Afrika Selatan. Ini berdasarkan data awal dari uji coba.
Inggris melaporkan pada Ahad kemarin ada 15.845 kasus baru dan 373 kematian dalam 28 hari. Namun, keberhasilan peluncuran vaksin Inggris memicu perdebatan tentang seberapa cepat pemerintah dapat melonggarkan pembatasan penguncian yang lebih luas, di tengah rencana untuk membuka kembali sekolah di Inggris pada bulan Maret.
Saat ini, beberapa negara mempertimbangkan paspor vaksin untuk memungkinkan kemudahan langkah-langkah perjalanan. Zahawi mengatakan Inggris tidak akan memperkenalkan sistem seperti itu. Tetapi orang-orang dapat mencari bukti negatif Covid-19 dari dokter mereka jika diperlukan.
"Itu bukan cara kami melakukan banyak hal di Inggris Raya. Kami melakukannya dengan persetujuan. Kami belum tahu apa dampak vaksin terhadap penularan dan itu akan diskriminatif," ungkap Zahawi.