REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Selandia Baru menangguhkan atau memutuskan sementara hubungan tingkat tinggi dengan Myanmar. Pemerintah Perdana Menteri Jacinda Ardern juga memberlakukan larangan masuk bagi pemimpin-pemimpin militer Myanmar usai kudeta pekan lalu.
Ardern mengatakan Selandia Baru memastikan program bantuannya untuk Myanmar tidak akan melibatkan atau menguntungkan pemerintah militer. Ia mengatakan program bantuan Selandia Baru ke Myanmar pada tahun 2018 dan 2019 mencapai 42 juta dolar Selandia Baru atau 30 juta dolar AS.
"Pesan tegas kami adalah kami akan melakukan apa yang dapat kami lakukan di sini di Selandia Baru dan salah satu yang kami lakukan adalah memutus sementara semua hubungan tingkat tinggi dan memastikan semua pendanaan yang kami salurkan ke Myanmar tidak untuk mendukung rezim militer," kata Ardern dalam konferensi pers, Selasa (9/2).
Dalam pernyataan terpisah Menteri Luar Negeri Selandia Baru Nanaia Mahuta mengatakan Selandia Baru tidak mengakui legitimasi pemerintah militer Myanmar. Negara Pasifik itu juga mendesak militer untuk segera membebaskan semua pemimpin politik yang mereka tahan.
Mahuta juga mendesak militer segera menyerahkan kembali kekuasaan ke sipil. Mahuta menambahkan pemerintah Selandia Baru sudah sepakat untuk mengimplementasikan larangan masuk bagi pemimpin militer Myanmar. Ia menegaskan rencana ini akan diresmikan.
Baca juga : Indonesia Siapkan Evakuasi WNI Jika Kondisi Myanmar Memburuk
Pemerintah militer Myanmar sudah berjanji akan menggelar pemilu baru dan menyerahkan kekuasaan pada pemenangnya. Mereka mencoba menenangkan massa yang menggelar unjuk rasa menentang kudeta pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi.