REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Para pengunjuk rasa kembali ke jalan-jalan Myanmar pada Rabu (10/2), setelah hari yang paling kejam dalam demonstrasi menentang kudeta yang menghentikan transisi tentatif menuju demokrasi di bawah pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi.
"Kami tidak bisa tinggal diam. Jika ada pertumpahan darah selama protes damai kami, maka akan ada lebih banyak jika kami membiarkan mereka mengambil alih negara," kata pemimpin pemuda Esther Ze Naw kepada Reuters.
Ribuan orang bergabung dalam demonstrasi di kota utama Yangon. Sementara di Ibu Kota Naypyitaw, ratusan pegawai pemerintah berbaris untuk mendukung kampanye pembangkangan sipil yang berkembang yang dimulai oleh petugas kesehatan.
Seorang dokter mengatakan, seorang pengunjuk rasa diperkirakan meninggal karena luka tembak di kepala dalam unjuk rasa pada Selasa (9/2). Dia terluka ketika polisi menembakkan senjata, sebagian besar ke udara, untuk "membersihkan" pengunjuk rasa di Naypyitaw.
Tiga orang lainnya sedang dirawat karena luka yang dicurigai akibat peluru karet, kata dokter. Para pengunjuk rasa juga terluka di Mandalay dan kota-kota lain, di mana pasukan keamanan menggunakan meriam air dan menangkap puluhan orang.