Kamis 11 Feb 2021 17:41 WIB

Yaman: 10 tahun Arab Spring, Harapan Baru Mengakhiri Konflik?

Revolusi Arab Spring di Yaman yang memicu perang saudara.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Suhaib Salem/REUTERS
Suhaib Salem/REUTERS

"Hari-hari pertama berjalan indah; kami berkumpul di Tahrir Square dan bersemangat untuk bertemu orang-orang yang berpikiran sama," kata Reem Jarhum saat mengingat awal revolusi di ibu kota Yaman, Sanaa.

Sudah 10 tahun sejak Jarhum, yang sekarang berusia 32 tahun, dan teman-temannya serta anak muda Yaman lainnya turun ke jalan untuk menuntut perubahan.

Saat itu, orang yang berkuasa di Yaman, Ali Abdullah Saleh, telah memimpin sejak 1978 hingga Mei 1990 sebagai presiden Republik Arab Yaman. Setelah itu berlanjut sebagai presiden Yaman. Secara total, ia berkuasa selama 33 tahun, satu tahun lebih lama dari Hosni Mubarak mantan presiden Mesir yang digulingkan pada 11 Februari 2011, tepat saat revolusi Yaman sedang berlangsung.

Penggulingan Mubarak "adalah lampu hijau bagi orang Yaman," kata Jarhum.

Aktivis Yaman, Tawakkol Karman, juga turut ambil bagian dalam protes itu. Dia sekarang berusia 42 tahun dan disebut "ibu revolusi." Dia memprotes korupsi sejak 2007 dan selalu bersikeras untuk berdialog secara damai dengan pemerintah terlepas dari serangan gas air mata dan penggerebekan brutal polisi terhadap pengunjuk rasa yang berasal dari kalangan muda.

Karman dianugerahi Penghargaan Nobel Perdamaian tahun 2011 bersama dengan aktivis perdamaian Liberia Ellen Johnson Sirleaf dan Leymah Gbowee. Dia menjadi orang Yaman pertama dan perempuan Arab pertama yang memenangkan penghargaan bergengsi tersebut. Dia menerima penghargaan karena memainkan "peran utama dalam perjuangan untuk hak-hak perempuan dan untuk demokrasi dan perdamaian di Yaman."

"Setelah revolusi kami menjalani tiga tahun terindah yang pernah ada," kata Karman kepada kantor berita Reuters pada Januari.

Protes damai untuk perubahan yang dilakukan dengan nyanyian dan tarian di alun-alun, dan sukses menyebabkan pengunduran diri Presiden Saleh pada 25 Februari 2012, telah berubah menjadi krisis kemanusiaan terburuk di dunia. Sekitar 80% dari hampir 30 juta orang di Yaman sekarang membutuhkan bantuan kemanusiaan, sementara 20 juta orang menghadapi kekurangan pangan, dan lebih dari 100.000 orang telah meninggal, menurut badan pengungsi PBB UNHCR.

Situasi kian memburuk

Situasinya semakin buruk dalam 10 tahun terakhir, dengan hampir tujuh tahun di antaranya Yaman dilanda perang saudara. Dimulai dengan kegagalan politik penerus Saleh, Abed Rabbo Mansour Hadi, yang tidak memiliki solusi untuk mengatasi masalah korupsi, pengangguran dan kekurangan pangan.

Situasi diperparah oleh serangan jihadis di selatan dan fakta bahwa aparat keamanan tetap setia kepada mantan Presiden Saleh. Selain itu, gerakan Houthi yang muncul dari minoritas Syiah dan didukung oleh kekuatan Syiah regional, Iran, menguasai bagian utara negara itu. Kaum Houthi didukung oleh orang Yaman yang kecewa (termasuk Sunni) ketika mereka menaklukkan Sana'a pada akhir 2014.

Abed Rabbo Mansour Hadi akhirnya melarikan diri dari Yaman ke Arab Saudi. Inilah yang membuat delapan negara Arab Sunni lainnya, termasuk Arab Saudi, terlibat dalam konflik tersebut. Pertempuran berubah menjadi perang saudara yang berkecamuk. Tujuan Sunni yang didukung oleh Amerika Serikat (AS), Inggris dan Prancis adalah untuk mengalahkan Houthi, memulihkan pemerintahan Hadi dan mengakhiri pengaruh Iran di Yaman. Secara khusus, Arab Saudi bersikeras untuk mengamankan perbatasan dengan Yaman dari musuh bebuyutannya, Iran.

"Sejak awal terjadinya perang hingga sekarang, alasan perang ini terus berkecamuk adalah karena pendanaan asing dan motivasi dari berbagai proxy untuk terlibat dalam perang lebih lanjut," ujar Sama'a Al-Hamdani, seorang analis politik Yaman dan urusan perempuan, kepada DW.

"Iran, Arab Saudi, Turki dan banyak negara terlibat dan tertarik untuk melihat perang Yaman terus berkecamuk," kata al-Hamdani.

Janji Biden membawa harapan baru?

AS di bawah pemerintahan Barack Obama dan Donald Trump telah menjadi salah satu negara yang secara tidak langsung terlibat dalam perang saudara Yaman. Pemerintahan Obama secara khusus memberikan persetujuannya untuk operasi udara lintas batas Arab Saudi melawan pemberontak Houthi pada tahun 2015.

Tetapi setelah hampir tujuh tahun ikut berperang, pemerintahan baru AS di bawah Joe Biden kini telah mengumumkan perubahan haluan yang signifikan. Dalam pidato besar pertamanya tentang kebijakan luar negeri pada 4 Februari, Presiden Biden berkata, "Perang ini harus diakhiri," seraya menambahkan: "Untuk menegaskan komitmen AS, kami mengakhiri semua dukungan Amerika untuk operasi ofensif dalam perang di Yaman, termasuk penjualan senjata."

Biden juga menggambarkan perang itu sebagai "bencana kemanusiaan dan bencana strategi". Namun, penghentian penjualan senjata ini tidak termasuk alat tempur yang digunakan untuk memerangi kelompok teroris al-Qaeda.

Analis politik percaya bahwa penunjukan diplomat AS dan pakar Timur Tengah Timothy Lenderking sebagai utusan khusus AS untuk Yaman, adalah langkah penting menuju perdamaian.

"Menghentikan penjualan senjata tidak berarti menghentikannya untuk selamanya," kata analis Al-Hamdani. "Sangat umum bagi pemerintah AS untuk menghentikan pekerjaan administrasi sebelumnya untuk meninjaunya." Al-Hamdani yakin bahwa "menugaskan utusan AS ke Yaman yang berfungsi untuk memoderasi dan melibatkan semua pihak yang bertikai dan mencoba mencapai penyelesaian gencatan senjata adalah kabar yang baik."

Sementara, ketua dan salah satu pendiri Sana'a Center for Strategic Studies, Farea Al-Muslimi, dan rekannya di lembaga pemikir urusan internasional Chatham House yang berbasis di London, juga menganggap penghentian penjualan senjata sebagai hal yang menjanjikan tetapi tidak cukup.

"Ini langkah yang sangat bagus, tapi akankah itu membawa perdamaian ke Yaman? Tidak!" ujar analis politik yang terdaftar oleh majalah Foreign Policy pada 2013 sebagai salah satu dari "100 Pemikir Global Teratas" kepada DW.

Pemberontakan pro-demokrasi sulit dalam waktu dekat

Mungkin mengejutkan bahwa meskipun ada lebih dari 100.000 kematian di masa perang, penderitaan yang disebabkan oleh banyak penyakit termasuk kolera dan COVID-19 dan kelaparan yang meluas selama 10 tahun terakhir revolusi Yaman tahun 2011 belum berdampak banyak terhadap penanganan masalah-masalah di negara itu.

"Biografi kami telah berubah. Itu adalah tahun di mana kami mengubah pemahaman kami tentang kekuasaan. Itu adalah tahun di mana rezim mulai panik karena kami," kata Farea Al-Muslimi kepada DW.

Namun dengan beragam kesengsaraan saat ini, sulit membayangkan munculnya pemberontakan pro-demokrasi di seluruh negeri dalam waktu dekat, tambahnya.

Reem Jarhum yang sekarang bekerja dari Berlin untuk proyek meningkatkan kesadaran menangani COVID-19 di Yaman, juga percaya bahwa revolusi itu sepadan. "Secara politis situasinya menurun, tapi secara sosial keadaan ini telah membuka banyak dialog, dan masyarakat lebih terbuka," ujarnya.

Namun, dia juga merasakan bahwa negaranya butuh bantuan yang mendesak dibandingkan apa pun: "Cobalah menyuruh orang untuk mencuci tangan jika mereka tidak punya makanan atau air minum. Itu gila." (pkp/as )

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement