REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memperingatkan tentara Myanmar mengenai "konsekuensi berat" untuk setiap tanggapan keras terhadap pengunjuk rasa yang berdemonstrasi menentang kudeta. Hal itu dikatakan juru bicara PBB Farhan Haq.
Meskipun kendaraan lapis baja dan tentara telah dikerahkan ke beberapa kota besar pada akhir pekan, pengunjuk rasa kembali berdemonstrasi pada Senin (15/2) untuk mengecam kudeta 1 Februari dan menuntut pembebasan pemimpin yang ditahan Aung San Suu Kyi dan lainnya. Warga yang mengikuti protes pada Senin (15/2), lebih kecil daripada ratusan ribu orang yang telah bergabung dengan demonstrasi sebelumnya.
Tetapi protes itu terjadi di berbagai wilayah Myanmar yang menentang kudeta. Kudeta telah menghentikan satu dekade transisi menuju demokrasi. Dalam sambungan telepon dengan wakil kepala junta militer Myanmar, Utusan Khusus PBB Christine Schraner Burgener menegaskan bahwa hak berkumpul secara damai harus dihormati sepenuhnya dan para demonstran tidak dikenakan pembalasan, kata juru bicara PBB Farhan Haq di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
"Dia telah menyampaikan kepada militer Myanmar bahwa dunia sedang mengawasi dengan saksama, dan segala bentuk tanggapan keras kemungkinan besar memiliki konsekuensi yang berat."
Dalam catatan pertemuan itu, tentara Myanmar mengatakan pejabat penting junta militer, Soe Win, telah membahas rencana dan informasi pemerintah tentang "situasi sebenarnya dari apa yang terjadi di Myanmar".
Selain mendesak tentara untuk menghormati hak asasi manusia dan institusi demokrasi, Schraner Burgener juga telah memperingatkan terhadap pemadaman internet, kata juru bicara PBB.
Pemadaman internet