REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Sebanyak puluhan ribu pengunjuk rasa anti-kudeta telah kembali ke jalan-jalan kota besar dan kecil di seluruh Myanmar. Mereka tidak terpengaruh oleh peristiwa terbunuhnya dua orang selama kekerasan oleh militer terhadap demonstrasi di kota Mandalay yang memicu reaksi global.
Kota terbesar Myanmar, Yangon, menunjukkan beberapa ribu anak muda berkumpul di dua lokasi untuk meneriakkan slogan menentang kudeta. Dementara ribuan berkumpul dengan damai di Mandalay. "Mereka membidik kepala warga sipil yang tidak bersenjata. Mereka membidik masa depan kami," kata seorang pengunjuk rasa muda kepada kerumunan di pusat kota.
Massa juga berbaris di pusat kota Monywa dan Bagan dan di Dawei dan Myeik di selatan. Sedangkan, kota Myitkyina yang telah mengalami konfrontasi dalam beberapa hari terakhir, orang-orang meletakkan bunga untuk pengunjuk rasa yang meninggal dunia. Sementara anak muda dengan spanduk berkeliling dengan sepeda motor.
Militer Myanmar yang dikenal sebagai Tatmadaw, merebut kekuasaan pada 1 Februari dari Aung San Suu Kyi. Setelah itu, protes yang berlangsung selama lebih dari dua minggu dengan sebagian besar berlangsung damai, tetapi ketegangan meningkat pada Sabtu (19/2). Ketika itu tentara dan polisi melepaskan tembakan langsung ke para pekerja yang mogok di dermaga Yadanabon di Mandalay.
Menurut majalah Frontier Myanmar, satu korban ditembak di kepala dan meninggal seketika, sementara yang lain ditembak di dada dan meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Seorang pekerja darurat mengatakan, 30 orang lainnya terluka, dengan setengah dari luka-luka itu disebabkan oleh peluru tajam.
Atas peristiwa itu, warga global dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun menyatakan ancaman. Pelapor khusus PBB untuk Myanmar, Thomas Andrews, mengatakan telah menerima laporan bahwa Divisi Infanteri Ringan ke-33 Tatmadaw terlibat dalam penembakan itu. Unit itu bertanggung jawab atas kampanye pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran yang memaksa 730.000 anggota etnis minoritas Rohingya masuk ke Bangladesh pada 2017.
"Penembakan itu eskalasi berbahaya oleh junta dalam apa yang tampak seperti perang melawan rakyat Myanmar," kata Andrews dikutip dari Aljazirah.