Para migran diangkut dengan bus dan truk militer ke sebuah pangkalan milik angkatan laut di barat Malaysia, sebelum dipindahkan ke tiga kapal perang Myanmar yang sudah berlabuh.
Padahal sebelumnya Pengadilan Tinggi di Kuala Lumpur memerintahkan penangguhan, menyusul sidang gugatan deportasi yang dilayangkan dua organisasi HAM.
Para pengungsi yang kebanyakan anggota etnis minoritas Myanmar diyakini dipulangkan secara ilegal. Mereka dianggap rentan menjadi korban pelanggaran HAM jika pulang ke wilayahnya yang diamuk perang saudara.
Kudeta militer pada awal Februari silam dikhawatirkan akan semakin memperparah situasi para pengungsi yang dipulangkan, lapor organisasi HAM.
Tapi larangan pengadilan tidak diindahkan pemerintah Malaysia. Kepala Keimigrasian, Khairul Dzaimee Daud, berdalih para pengungsi tidak dideportasi.
“Mereka yang akan dideportasi sudah setuju untuk pulang atas keinginan sendiri, tanpa harus dipaksa,” kata dia, Senin (23/2).
Para migran telah menghuni kamp penampungan imigrasi sejak 2020, imbuhnya.
Gugatan hukum.
Amerika Serikat dan PBB sebelumnya mengritik rencana tersebut. Sementara organisasi HAM mencatat, otoritas Malaysia juga berniat memulangkan pencari suaka asal Myanmar.
Adalah Amnesty International dan Asylum Access yang melayangkan gugatan ke pengadilan. Kedua organisasi beranggapan kebijakan deportasi pengungsi Myanmar melanggar perjanjian internasional yang melarang pemulangan paksa jika ada ancaman bahaya.
Atas dasar itu Pengadilan Tinggi di Kuala Lumpur memerintahkan penundaan deportasi untuk memungkinkan sidang dengar pendapat pada Rabu (24/2), tutur kuasa hukum para migran, New Sin Yew, kepada AFP.
Direktur Ekesekutif Amnesty International di Malaysia, Katrina Jorene Maliamauv, mengatakan pemerintah "harus menghormati perintah pengadilan dan memastikan tidak seorangpun dari 1.200 individu yang dipulangan hari ini.”
Dia mengimbau otoritas agar mengabulkan permintaan Badan Pengungsi PBB, UNHCR, untuk menemui migran yang akan dideportasi. Dengan cara itu UNHCR bisa menentukan apakah ada di antara mereka yang berhak memperoleh suaka.
"Sangat penting untuk mengingat bahwa penundaan eksekusi oleh pengadilan tidak berarti bahwa 1.200 orang itu aman dari deportasi. Mereka menghadapi ancaman terhadap nyawa sendiri,” imbuhnya.
"Kami mendesak pemerintah mengkaji ulang rencananya mengirimkan sekelompok orang yang rentan ini kembali ke Myanmar.”
Deportasi etnis minoritas Myanmar
Para migran itu dibawa dengan bus dan truk militer ke pangakalan di Lumut. Pemerintah bersikeras mereka melakukan pelanggaran keimigrasian dan sebabnya harus dipulangkan. Tidak seorangpun di antara mereka merupakan anggota etnis Rohingya, klaim pemerintah Malaysia.
Situasi di Myanmar masih memanas menyusul aksi demonstrasi menentang kudeta militer. Kuala Lumpur awalnya menyampaikan "kekhawatiran serius” terkait kudeta, namun kemudian menerima tawaran militer Myanmar mengirimkan kapal perang untuk memulangkan para migran.
Mereka kebanyakan adalah anggota minoritas Chin beragama Kristen, serta para pengungsi dari negara bagian Kachin dan Shan yang didera perang saudara, menurut Lilianne Fan, Direktur International Geutanyoe Foundation, sebuah lembaga advokasi pengungsi.
Sejak 2019, pemerintah Malaysia melarang UNHCR mengunjungi pusat penampungan keimigrasian. Akibatnya badan PBB itu tidak bisa menjaring pengungsi yang berhak mendapatkan status pencari suaka.
James Bawi Thang Bik, Direktur Aliansi Pengungsi Chin di Malaysia, mengaku dirinya "terkejut” mendengar adanya warga etnis Chin yang akan dideportasi. "Mereka adalah pengungsi yang lari dari kawasan konflik,” kata dia.
Malaysia saat ini menampung sekitar 180.000 pengungsi dan pencari suaka, menurut catatan UNHCR. Sekitar 100.000 di antaranya merupakan warga etnis Rohingya, sementara 52.000 pengungsi lain merupakan anggota etnis minoritas Myanmar.
rzn/hp (afp, rtr)