REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Inggris pada Kamis (4/3) mendesak kepada pemerintah junta militer Myanmar untuk segera mengakhiri penindasan di negara itu.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengungkapkan di Twitter bahwa dia prihatin dengan meningkatnya kekerasan dan pembunuhan pengunjuk rasa pro-demokrasi di Myanmar. Pernyataan dari Johnson itu muncul setelah puluhan orang tewas di Myanmar selama protes anti-kudeta.
"Kami mendukung rakyat Myanmar dalam menyerukan penghentian segera penindasan oleh militer, pembebasan Aung San Suu Kyi dan lainnya, dan pemulihan demokrasi," kata Johnson.
Lebih dari 50 orang tewas dalam demonstrasi di Myanmar sejak 1 Februari, ketika junta mengambil alih kekuasaan. Inggris telah memberikan sanksi kepada sejumlah jenderal dari tentara Myanmar karena peran mereka dalam kudeta tersebut.
Kudeta terjadi beberapa jam sebelum parlemen baru negara itu akan bersidang setelah pemilihan pada November di mana Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) memperoleh kemenangan besar. Militer mengklaim telah melancarkan kudeta karena "kecurangan pada pemilu" yang memberikan dominasi NLD.
Tak lama setelah kudeta 1 Februari, junta mengumumkan darurat militer yang memberlakukan jam malam dan larangan berkumpul yang terdiri dari lima orang atau lebih. Namun, pemerintah militer gagal meredam protes rakyat dan kampanye oposisi sipil yang diprakarsai oleh pejabat pemerintah melawan kekuasaan militer.