REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Korea Selatan (Korea) dan Amerika Serikat (AS) akan menggelar latihan militer gabungan pada pekan ini. Namun, karena pandemi virus corona skala latihan akan lebih kecil dari biasanya.
Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata (JSC) Korsel mengatakan, Senin (8/3) AS-Korsel akan memulai 'komando simulasi komputer pascalatihan' yang berlangsung selama sembilan hari. Korsel dan AS memutuskan melanjutkan latihan gabungan yang dijadwalkan sebelumnya.
"Setelah mempertimbangkan dengan saksama situasi Covid-19, menjaga postur kesiagaan bertempur, denuklirisasi Semenanjung Korea, dan memelihara perdamaian," kata JCS dalam pernyataannya, Ahad (7/3).
JCS menegaskan, latihan ini bersifat 'defensif'. Kantor berita Yonhap melaporkan latihan kali ini tidak menggelar manuver luar ruangan yang telah dilakukan sepanjang tahun.
Pandemi juga membuat jumlah pasukan dan peralatan yang diikutsertakan dikurangi. Latihan ini memberi kesempatan bagi Korsel menilai kesiapan mereka dalam mengambil alih wartime operational control (OPCON).
Tetapi sudah beberapa kali skala latihan gabungan AS-Korsel diperkecil. Sebelum pandemi pun skala latihan sudah dikurangi untuk membuka jalan kesepakatan denuklirisasi Semenanjung Korea dengan Korea Utara (Korut). Korut kerap mengawasi latihan gabungan militer yang mereka sebut 'persiapan untuk berperang'.
CEO Korea Risk Group yang memantau Korut, Chad O’Carroll mengatakan, biasanya Pyongyang merespons latihan gabungan AS-Korsel dengan memamerkan kekuatan mereka. Namun, hal itu tampaknya tidak terjadi kali ini.
"Saya pikir, terlalu banyak agenda domestik yang berjalan salah untuk mengambil risiko meningkatkan ketegangan dan ini pemerintahan yang cenderung fokus menggunakan sumber dayanya menangani satu masalah dalam satu waktu," cicit O’Carroll di Twitter.
Penyidik PBB melaporkan, langkah Korut mencegah penyebaran Covid-19 mendorong pelanggaran hak asasi manusia dan kesulitan ekonomi. Sejumlah laporan menyebutkan, langkah Korut memicu kelaparan.