REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Ratusan pengunjuk rasa berkumpul di Bangkok, Thailand, menuntut pihak berwenang membebaskan sejumlah tokoh unjuk rasa. Para demonstran mengabaikan larangan berkumpul yang diterapkan pemerintah.
Pihak berwenang Thailand menangkap tokoh-tokoh unjuk rasa yang menuntut reformasi kerajaan dan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha mundur. Pengadilan menolak permintaan penangguhan penahanan dengan jaminan sejumlah pemimpin unjuk rasa.
"Bebaskan teman-teman kami," teriak para pengunjuk rasa, Ahad (7/3).
Para demonstran berkumpul di depan gedung pengadilan yang dipagari dengan kawat besi. Terlihat truk water canon di dekat gerbang gedung pengadilan.
Pengunjuk rasa juga menuntut agar undang-undang lese majeste yang melindungi kerajaan dari kritikan dihapuskan. Dalam undang-undang pidana Thailand undang-undang itu masuk ke pasal 112.
Sejumlah pengunjuk rasa juga membakar foto raja. Kelompok yang berbeda juga menggelar unjuk rasa di lokasi lain di Bangkok. Sabtu (6/3) kemarin polisi sudah memperingatkan petugas mungkin akan menggunakan kekerasan dan melakukan penangkapan bila pengunjuk rasa tidak mengabaikan larangan berkumpul.
"Unjuk rasa ilegal, siapa pun yang bergabung atau mengundang orang lain untuk bergabung maka melanggar hukum," kata deputi komisioner Biro Kepolisian Metropolitan Bangkok Piya Tavichai dalam konferensi pers.
Pekan lalu untuk pertama kalinya polisi Thailand menggunakan peluru karet, gas air mata dan water canon untuk membubarkan pengunjuk rasa. Sepuluh pengunjuk rasa dan 25 polisi terluka dalam bentrokan pekan lalu. Dalam sebuah podcast Prayuth meminta warga Thailand mematuhi hukum dan menghindari konflik.
"Kami harus menyayangi satu sama lain dan bersatu, tidak pecah-belah dan menghormati hukum," kata Prayuth yang mulai berkuasa melalui kudeta militer 2014 lalu.