REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Dewan Keamanan PBB pada pekan lalu gagal menyetujui pernyataan bersama tentang tindakan keras militer Myanmar yang semakin kejam terhadap para pembangkang pro-demokrasi.
Sebuah pertemuan tertutup dari badan yang ditugaskan untuk memastikan perdamaian dan stabilitas internasional itu berakhir tanpa pernyataan meskipun ada seruan dari Amerika Serikat dan anggota lainnya untuk front persatuan guna mengatasi krisis tersebut.
Rusia dan China, keduanya anggota tetap DK PBB dengan hak veto, sebelumnya telah menyuarakan pendapat untuk mendukung non-campur tangan, menggambarkan situasi yang semakin mengerikan itu sebagai urusan internal.
Christine Schraner Burgener, utusan khusus PBB untuk Myanmar, meminta negara-negara anggota untuk bertindak selama sesi tertutup, memperingatkan bahwa harapan rakyat negara itu memudar.
"Saya telah mendengar langsung permohonan putus asa, dari para ibu, pelajar, dan orang tua, saya menerima setiap hari sekitar 2.000 pesan, agar tindakan internasional membalikkan serangan yang nyata terhadap keinginan rakyat Myanmar dan prinsip-prinsip demokrasi," ungkap Burgener di hadapan anggota dewan.
"Persatuan Anda dibutuhkan lebih dari sebelumnya," tambah dia.
Inggris, yang meminta sesi diadakan pada Jumat, mengatakan bahwa penting bagi dewan untuk berbicara dalam satu suara, menekankan bahwa pihaknya akan mempertimbangkan tindakan lebih lanjut melalui Dewan Keamanan dalam beberapa hari mendatang.
Tentara Myanmar merebut kekuasaan pada 1 Februari, menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi dan mengakhiri eksperimen singkat negara itu dengan pemerintahan demokratis. Protes anti-kudeta besar-besaran di seluruh negeri telah menyebabkan tindakan keras militer, dengan lebih dari 60 orang tewas dan lebih dari 1.000 ditangkap.
*Betul Yuruk berkontribusi pada berita ini dari New York