REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Jaksa Thailand pada Senin (8/3), mendakwa 18 aktivis atas peran mereka dalam aksi protes anti-pemerintah pada tahun lalu. Gerakan yang dipimpin kaum pemuda muncul tahun lalu untuk menyerukan pengunduran diri Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha yang merupakan mantan pemimpin junta.
Mereka yang didakwa termasuk tiga pemimpin terkemuka dengan tuduhan telah melakukan hasutan dan melanggar hukum lese majeste dalam aksi protes pada September tahun lalu. Sementara, 15 pengunjuk rasa lainnya menghadapi persidangan untuk tuntutan melakukan hasutan dan melanggar larangan berkumpul di depan umum.
"Ada cukup bukti bahwa tersangka telah melakukan kesalahan," kata wakil juru bicara Kantor Kejaksaan Agung Chanchai Chalanonniwat.
Jika pengadilan menolak permintaan jaminan mereka, maka 18 aktivis itu dapat dijebloskan ke dalam penjara sampai persidangan mereka dimulai. Hukum lese majeste Thailand melarang kritik atau penghinaan terhadap raja, dan setiap pelanggaran dapat dihukum hingga 15 tahun penjara.
Salah satu aktivis Panupong Jadnok mengatakan, dia tidak takut apabila harus mendekam di dalam penjara dan menghadapi pengadilan. Dia mengatakan, kelompok aktivis pemuda lainnya akan tetap melanjutkan kegiatan mereka untuk memprotes pemerintahan monarki. Panupong didakwa dengan tuduhan melanggar hukum lese majeste.
"Saya tidak terlalu khawatir. Kegiatan yang telah kami lakukan hanyalah permulaan, dan itu akan terus berjalan bahkan tanpa kami," ujar Panupong.
Gerakan pemuda Thailand sejauh ini menjadi tantangan terbesar bagi mantan panglima militer Prayuth. Para aktivis pemuda itu menyatakan, Prayuth telah merekayasa aturan pemilihan umum 2019 agar dirinya tetap berkuasa.
Para pengunjuk rasa juga mengatakan, konstitusi terlalu banyak memberikan kekuasaan kepada raja. Mereka menuntut agar sejumlah kekuasaan raja dibatasi. Menurut kelompok Pengacara Hak Asasi Manusia Thailand, sedikitnya 63 orang telah didakwa melanggar hukum lese mejeste sejak November.