Kamis 11 Mar 2021 09:30 WIB

Militer Myanmar Gunakan Taktik Perang Hadapi Pendemo

PBB mencatat aparat keamanan Myanmar telah menewaskan sedikitnya 60 pengunjuk rasa.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nidia Zuraya
Massa mengenakan masker saat berunjuk rasa menentang kudeta militer di Mandalay, Myanmar, Selasa (9/3).
Foto: AP
Massa mengenakan masker saat berunjuk rasa menentang kudeta militer di Mandalay, Myanmar, Selasa (9/3).

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Amnesty Internasional pada Kamis (11/3) mengatakan, militer Myanmar menggunakan senjata medan perang dalam tindakan terhadap pengunjuk rasa damai. Militer juga telah mengerahkan kekuatan mematikan dengan taktik berperang terhadap para penentang kudeta.

Kelompok hak asasi manusia tersebut mengatakan, bahwa pihaknya telah memverifikasi lebih dari 50 video dari tindakan keras tentara. Amnesty menuduh tentara menggunakan senjata yang cocok untuk medan perang untuk membunuh pengunjuk rasa.

Baca Juga

Dikatakan bahwa mereka berada di tangan unit-unit yang dituduh oleh kelompok hak asasi telah bertahun-tahun melakukan kekejaman terhadap kelompok etnis minoritas, termasuk Muslim Rohingya. "Ini bukanlah tindakan kewalahan, petugas keamanan membuat keputusan yang buruk," kata Joanne Mariner, Direktur Respon Krisis di Amnesty International.

"Ini adalah komandan yang tidak menyesal yang telah terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, mengerahkan pasukan dan metode pembunuhan di tempat terbuka," ujarnya menambahkan.

Amnesty mengatakan senjata yang digunakan termasuk senapan sniper dan senapan mesin ringan, serta senapan serbu dan senapan sub-mesin. Pihaknya pun menyerukan penghentian pembunuhan dan pembebasan tahanan. Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik mengatakan hampir 2.000 orang telah ditahan sejak kudeta.

PBB mencatat aparat keamanan Myanmar telah menewaskan sedikitnya 60 pengunjuk rasa, dan diperkirakan masih akan bertambah jika aparat kian menggunakan kekerasan pada aksi protes massa yang berlanjut. Banyak pembunuhan yang didokumentasikan sama dengan eksekusi di luar hukum.

Namun demikian, Reuters tidak dapat menghubungi juru bicara junta untuk dimintai komentar. Tentara mengatakan tanggapannya terhadap protes telah ditahan.

Junta mengambil alih kekuasaan pada 1 Februari. Gerakan kudeta yang dipimpin Min Aung Hlaing juga menahan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi dan memicu protes harian di seluruh Myanmar yang terkadang menarik ratusan ribu orang turun ke jalan.

Dalam membenarkan pengambilalihannya, tentara mengutip dugaan kecurangan dalam pemilihan November yang dimenangkan oleh partai Suu Kyi. Tuduhannya telah dibantah oleh komisi pemilihan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement