REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Perdana Menteri baru Libya Abdul Hamid Dbeibeh pada Rabu (11/3) mengungkapkan bahwa mosi percaya dari parlemen untuk pemerintah sementara adalah "momen bersejarah" dan berjanji untuk mengakhiri perang di negaranya.
Dalam pidato yang disiarkan televisi di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat setelah memberikan kepercayaan kepada pemerintah Libya yang baru dengan mayoritas mutlak, Dbeibeh mengatakan, “Memberikan kepercayaan kepada pemerintah adalah momen bersejarah."
"Perang tidak akan terulang lagi," kata Dbeibeh, menyerukan kepada parlemen Libya untuk mengejar persatuan guna membantu memperbaiki perpecahan dan perang selama beberapa tahun terakhir.
Perdana Menteri Libya itu juga berjanji untuk mendukung Komisi Pemilihan Umum Nasional, menyelesaikan persiapan konstitusional dan hukum untuk menyelenggarakan pemilu sesuai jadwal dan memastikan bahwa keluhan warga didengar di seluruh negeri.
Dbeibeh berterima kasih kepada PBB dan negara-negara lain yang mendukung dialog politik di Libya.
"Saya akan bekerja keras untuk mendukung Dewan Kepresidenan dan mencapai keadilan transisi untuk membuat rekonsiliasi nasional berhasil," tutur dia.
Pada Rabu pagi, dalam pemungutan suara mayoritas, parlemen Libya memberikan mosi kepercayaan kepada pemerintah baru Dbeibeh.
Dbeibeh mengusulkan pemerintah persatuan dengan 27 anggota pada Sabtu, berjanji bahwa pemerintah akan memprioritaskan untuk meningkatkan layanan, menyatukan lembaga negara, dan mengakhiri masa transisi dengan mengadakan pemilihan.
Pada 5 Februari, kelompok politik saingan Libya sepakat dalam pembicaraan yang dimediasi PBB untuk membentuk pemerintah persatuan sementara untuk memimpin negara itu ke pemilihan Desember ini, di mana Dbeibeh ditunjuk sebagai perdana menteri dan ditugaskan untuk membentuk pemerintahan baru. Rakyat Libya berharap ini akan mengakhiri perang saudara selama bertahun-tahun yang telah melanda negara itu sejak penggulingan dan pembunuhan Muammar al-Qaddafi pada 2011.
Perang diperparah ketika panglima perang Khalifa Haftar, yang didukung oleh Uni Emirat Arab, Mesir, Rusia, dan Prancis, antara lain, melakukan serangan militer untuk menggulingkan pemerintah yang berbasis di Tripoli yang diakui secara internasional untuk menguasai negara Afrika Utara itu.