Jumat 12 Mar 2021 19:01 WIB

Rusia Khawatir Terus Bertambahnya Korban Sipil di Myanmar

Pelapor PBB mengisyaratkan militer Myanmar berpotensi lakukan kejahatan kemanusiaan.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Para pengunjuk rasa di jalan utama Mandalay, Myanmar, Minggu, 7 Maret 2021. Aksi kekerasan di Myanmar meningkat ketika pihak berwenang menindak protes terhadap kudeta 1 Februari lalu.
Foto: AP
Para pengunjuk rasa di jalan utama Mandalay, Myanmar, Minggu, 7 Maret 2021. Aksi kekerasan di Myanmar meningkat ketika pihak berwenang menindak protes terhadap kudeta 1 Februari lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Pemerintah Rusia mengkhawatirkan situasi di Myanmar. Hal itu sehubungan dengan terus meningkatkan korban sipil dalam gelombang demonstrasi menentang kudeta yang dilakukan militer.

"Dalam pandangan kami, situasinya mengkhawatirkan. Dan kami prihatin dengan informasi yang datang dari sana tentang meningkatnya korban sipil," kata juru bicara Kremlin Dmitry Peskov pada Jumat (12/3).

Baca Juga

Pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia (HAM) di Myanmar Tom Andrews telah mengisyaratkan bahwa militer Myanmar berpotensi melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal itu mengingat korban sipil dalam demonstrasi menentang kudeta telah mencapai sedikitnya 70 orang.

"Rakyat Myanmar tidak hanya membutuhkan kata-kata dukungan, tapi juga tindakan suportif. Mereka membutuhkan bantuan komunitas internasional sekarang," kata Andrews kepada Dewan HAM PBB pada Kamis (11/3).

Dia menyebut junta militer Myanmar adalah rezim ilegal yang terus melakukan pembunuhan. "Kejahatan terhadap orang-orang Rohingya terus berlanjut mengarah ke komando dan kontrol tingkat tinggi," ujarnya.

Dia menyerukan penerapan sanksi multilateral terhadap junta serta Perusahaan Minyak dan Gas Myanmar milik militer. Komunitas internasional pun dapat memberlakukan embargo senjata terhadap Myanmar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement