REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pejabat senior AS dan Israel menggelar pertemuan virtual pertama pada Kamis (11/3) untuk berbagi pandangan tentang berbagai masalah keamanan regional termasuk tentang nuklir Iran. Juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih Emily Horne mengatakan, penasihat keamanan nasional Jake Sullivan dan mitranya dari Israel Meir Ben-Shabbat memimpin delegasi kedua negara dalam pertemuan itu.
"Selama diskusi, kedua belah pihak berbagi perspektif tentang masalah keamanan regional yang menjadi kepentingan dan perhatian bersama, termasuk Iran, dan menyatakan tekad bersama mereka untuk menghadapi tantangan dan ancaman yang dihadapi kawasan," ujar Horne.
Pemerintahan Biden menggambarkan pertemuan itu sebagai upaya Washington untuk berkonsultasi dengan sekutu dan mitranya terlebih, sebelum mengambil langkah lebih jauh terkait perjanjian nuklir Iran 2015 (JCPOA). Di bawah pemerintahan mantan Presiden Donald Trump, AS menarik diri dari JCPOA dan menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Iran.
Sejak AS meninggalkan perjanjian JCPOA, Iran mulai meningkatkan aktivitas pengayaan uranium yang melebihi batas dan tidak sesuai dengan kesepakatan. Pemerintahan Biden ingin AS bisa kembali bergabung dengan JCPOA asalkan Iran mengakhiri aktivitas pengayaan uraniumnya dan mematuhi ketentuan yang sudah disepakati. Di sisi lain, Iran bersedia untuk menghentikan peningkatan pengayaan uranium dengan syarat AS harus mencabut sanksi ekonomi terhadap Teheran.
Israel telah melontarkan kritik dan menentang AS untuk tidak kembali bergabung dengan JCPOA. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu belum lama ini mengisyaratkan bahwa Israel akan menggunakan tindakan militer terhadap Iran. Sementara itu, pejabat senior Israel, termasuk Menteri Pertahanan Benny Gantz mengatakan, Israel akan meningkatkan rencana darurat untuk menyerang Iran jika mereka meningkatkan aktivitas nuklirnya.
“Dengan atau tanpa kesepakatan, kami akan melakukan segalanya agar Anda tidak mempersenjatai diri dengan senjata nuklir," ujar Netanyahu dalam pidatonya yang ditujukan kepada Iran belum lama ini.