REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Sedikitnya enam orang tewas oleh aparat keamanan menyusul aksi protes yang terjadi di Myanmar. Aksi digelar untuk memperingati meninggalnya seorang siswa pada pada 1988 lalu dimana peristiwa tersebut memicu pemberontakan melawan pemerintah militer.
Sebanyak tiga orang tewas dan beberapa lainnya cedera ketika polisi melepaskan tembakan kepada para demonstran di Mandalay. Sedangkan satu orang lainnya tewas di pusat kota Pyay dan dua lainnya tewas akibat tembakan polisi di Yangon semalam sebelumnya.
Seorang pengunjuk rasa menceritakan bahwa pasukan keamanan awalnya menghentikan ambulans untuk menjangkau orang-orang yang terluka. Mereka kemudian mengizinkan mereka melintas beberapa waktu setelahnya.
"Pada saat mereka mengizinkannya, salah satu yang terluka menjadi kritis dan dia kemudian meninggal," kata pria berusia 23 tahun itu seperti dinukil laman Reuters, Sabtu (13/3).
Reuters melaporkan bahwa kematian itu terjadi ketika para pemimpin dari Amerika Serikat (AS), India, Australia dan Jepang berjanji bekerja sama memulihkan demokrasi di Myanmar. Lebih dari 70 orang telah tewas di Myanmar dalam protes yang meluas terhadap kudeta 1 Februari oleh militer.
"Sebagai pendukung lama Myanmar dan rakyatnya, kami menekankan kebutuhan mendesak untuk memulihkan demokrasi dan prioritas penguatan ketahanan demokrasi," kata keempat pemimpin itu dalam sebuah pernyataan yang dirilis oleh Gedung Putih AS.
Sementara, aksi masa tersebut digelar guna memperingati kematian Phone Maw, seorang sis yang ditembak mati oleh pasukan keamanan pada 1988 lalu. Dia tewas ditembus peluru panas di tempat yang kemudian dikenal sebagai kampus Institut Teknologi Rangoon.
Peristiwa tersebut kemudian memicu protes luas terhadap pemerintah militer yang dikenal sebagai kampanye 8-8-88, yang merupakan hari puncak pergolakan tersebut. Diperkirakan 3.000 orang terbunuh ketika tentara menghancurkan pemberontakan.
Aung San Suu Kyi kemudian muncul sebagai ikon demokrasi selama gerakan dan ditahan di rumah selama hampir dua dekade. Momen itu menjadi tantangan terbesar bagi pemerintahan militer sejak 1962.