REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- China masuk dalam persaingan untuk berpartisipasi dalam megaproyek dan pembangunan infrastruktur di Mesir yang sedang berlangsung di bawah pemerintahan Presiden Abdul Fattah al-Sisi. Sisi ingin memodernisasi dan mentransformasi negara terpadat di Timur Tengah itu.
"Mesir selalu senang dengan megaproyek," kata peneliti Chatham House dan pendiri perusahaan pembangunan internasional Oxcan, Mohamed el-Dahshan pada Aljazirah, Selasa (16/3).
"Pemerintah Mesir membangun aliansi melalui penandatanganan kesepakatan-kesepakatan ekonomi tertentu dengan berbagai negara dalam beberapa tahun terakhir," tambah Dahshan.
Pada Januari lalu perusahaan Jerman Siemens menandatangani memorandum of understanding (MOU) dengan Pemerintah Mesir untuk membangun kereta listrik cepat senilai 23 miliar dolar AS. Perusahaan nuklir milik Pemerintah Rusia, Rosatom juga tengah membangun pembangkit tenaga listrik pertama di Mesir di Kota El Dabaa.
Industri harta karun arkeologis juga sedang mengalami ledakan. Perusahaan konstruksi Belgia, Besix bekerja sama dengan perusahaan Mesir untuk membangun museum di Giza yang akan menjadi museum terbesar di dunia.
Perubahan paling nyata terletak sekitar 35 kilometer dari Kairo tempat pemerintah membangun kota besar yang akan menjadi rumah bagi 29 anggota kabinet dan lebih dari 5 juta orang. China menjadi salah satu peserta pembangunan megaproyek tersebut.
"China masih anak baru," kata pakar China dan Timur Tengah di lembaga think tank asal Amerika Serikat (AS), Wilson Center, Lucille Greer.
Ia mengatakan Mesir yang menjadi negara paling stabil di kawasan dan langkah pemerintahnya yang ingin membuat negara mereka lebih atraktif bagi investor asing menarik perhatian China. Chinese State Construction and Engineering Company (CSCEC) sedang membangun Central Business District di Ibukota Administratif Mesir yang baru.