REPUBLIKA.CO.ID,YANGON -- Myanmar menghadapi isolasi yang semakin meningkat pada Kamis (18/3). Layanan internet semakin terbatas dan surat kabar swasta telah dipaksa untuk berhenti terbit.
Kantor hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Selasa (16/3) menjelaskan, sekitar 37 jurnalis telah ditangkap, termasuk 19 orang yang masih ditahan. Sementara pihak berwenang telah memerintahkan beberapa surat kabar untuk ditutup, sedangkan yang lain tampaknya terpaksa tutup karena alasan logistik. Koran swasta terakhir berhenti terbit pada Rabu.
Pihak berwenang telah membatasi layanan internet yang digunakan pengunjuk rasa untuk mengatur gerakan di jalan. Akses ke WiFi di tempat umum sebagian besar ditutup pada hari Kamis.Penduduk beberapa kota, termasuk Dawei di selatan, melaporkan tidak ada internet sama sekali.
Sedangkan kantor Berita swasta Tachilek di timur laut menerbitkan foto-foto pekerja yang memotong kabel yang dikatakan sebagai sambungan dengan negara tetangga Thailand. Kondisi ini tidak bisa diverifikasi karena informasi di dalam negeri menjadi semakin sulit untuk didapatkan.
Sebagian besar ekonomi yang sudah terhuyung-huyung akibat virus korona telah dilumpuhkan oleh protes dan kampanye pembangkangan sipil dari pemogokan terhadap pemerintahan militer. Sementara banyak investor asing sedang menilai kembali rencana.
Badan Pangan PBB memperingatkan pekan ini, bahwa kenaikan harga makanan dan bahan bakar di seluruh negeri dapat merusak kemampuan keluarga miskin untuk memberi makan diri mereka sendiri. "Apa pun yang terjadi di Myanmar dalam beberapa bulan mendatang, ekonomi akan runtuh, menyebabkan puluhan juta orang dalam kesulitan dan membutuhkan perlindungan segera," kata sejarawan dan penulis, Thant Myint-U, di Twitter.
Baca juga : Menlu Retno Minta Usut Pemain RI Dipaksa Mundur All England