REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Anggota parlemen Myanmar yang digulingkan, Kyaw Moe Tun, sedang menjajaki membawa kasus kekerasan terhadap demonstran ke Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Tanggapan keras pasukan militer dan polisi terhadap pengunjuk rasa sejak kudeta 1 Februari terus menjatuhkan korban jiwa setiap harinya.
"ICC adalah salah satunya. Kami bukan negara pihak di ICC, tetapi kami perlu ... mengeksplorasi cara dan sarana untuk membawa kasus ini ke ICC," kata Kyaw Moe Tun.
Kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, mencatat jumlah total yang meninggal dunia dalam kerusuhan berminggu-minggu telah meningkat menjadi setidaknya 224. Sedangkan pakar hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengecam penggusuran paksa, penahanan sewenang-wenang, dan pembunuhan pengunjuk rasa pro-demokrasi. Mereka mengatakan pemerintah asing harus mempertimbangkan untuk mengejar junta agar bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan.
Uni Eropa (UE) akan menjatuhkan sanksi pada tokoh militer individu awal pekan ini dan menargetkan bisnis yang mereka jalankan. Sanksi UE mengikuti keputusan Amerika Serikat bulan lalu untuk menargetkan militer dan kepentingan bisnisnya. Inggris bulan lalu membekukan asetnya dan memberlakukan larangan perjalanan pada tiga jenderal.
Tentara telah mempertahankan pengambilalihan pemerintahan Myanmar dengan mengatakan tuduhan kecurangan dalam pemilihan 8 November. Junta pun telah menjanjikan pemilihan baru tetapi belum menetapkan tanggal.