REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Otoritas di ibu kota Korea Selatan, Seoul, akan mencabut ketentuan kontroversial yang mewajibkan semua pekerja asing menjalani tes virus corona. Langkah itu diambil setelah protes bermunculan dan memicu keluhan dari kalangan kedutaan asing, juga sorotan soal hak asasi manusia.
Kantor pusat untuk pengendalian pandemi negara itu mengatakan telah meminta pihak berwenang Kota Seoul untuk mencabut perintah tersebut dan meningkatkan kebijakan soal tes Covid-19 guna menghindarkan diskriminasi atau pelanggaran hak. "Permintaan itu untuk mencegah upaya anti-Covid-19 menyebabkan diskriminasi atau pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga negara dan warga negara asing," kata kantor pusat itu melalui pernyataan.
Namun, otoritas kota masih merekomendasikan agar tes Covid dilakukan pada pekerja asing maupun Korea Selatan di tempat-tempat kerja yang "berisiko tinggi". Pencabutan aturan itu terjadi saat Komisi Nasional HAM membenarkan bahwa pihaknya sedang menyelidiki apakah kebijakan beberapa pemerintah daerah --soal semua pekerja asing harus menjalani tes virus corona-- adalah tindakan yang diskriminatif.
Seoul dan provinsi di sekitarnya, Gyeonggi, termasuk di antara pemerintah daerah yang memerintahkan tes semacam itu dihujani kritik oleh kalangan anggota parlemen Korea Selatan, pejabat universitas, dan duta besar asing. Gyeonggi, yang memberlakukan aturan itu hingga Senin, mengatakan telah mencabut persyaratan terpisah soal orang asing yang direkrut untuk suatu pekerjaan harus menunjukkan hasil negatif tes Covid.
Para pejabat kesehatan sebelumnya membela kewajiban tes itu. Mereka beralasan aturan seperti itu perlu diterapkan untuk menghindarkan lonjakan infeksi virus corona di antara penduduk asing.
Mereka juga mengatakan bahwa aturan tersebut tidak diskriminatif karena tes juga telah diwajibkan bagi orang-orang yang terkait dengan wabah di gereja, kelab malam, dan tempat-tempat lainnya.
Pada Jumat, Kedutaan Besar Amerika Serikat mengatakan telah menyampaikan keprihatinan kepada pihak berwenang. Kedubes AS juga mendesak semua warga negaranya diperlakukan secara adil dan setara.
Komnas HAM, yang independen, mengatakan pihaknya melakukan penyelidikan setelah beberapa keluhan muncul, salah satunya seperti yang diutarakan oleh duta besar Inggris. Dubes Inggris mengatakan aturan itu "tidak adil, tidak proporsional, juga kemungkinan tidak efektif".
Ketua Komnas HAM Choi Young-ae mengatakan ia khawatir bahwa kebijakan tersebut dapat menimbulkan diskriminasi, terutama melalui penggunaan bahasa yang merendahkan pekerja yang tidak berdokumen.