REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Michelle Bachelet, menerima mandat untuk mengumpulkan bukti kejahatan selama perang saudara yang panjang di Sri Lanka, Selasa (23/3). Perang tersebut telah berakhir pada 2009 dengan kekalahan milisi Tiger Tamil dan meningkatnya kematian warga sipil.
Dewan hak asasi yang berbasis di Jenewa mengadopsi resolusi yang dipelopori oleh Inggris. Pemungutan suara tersebut menghasilkan 22 suara, dengan 11 menolak termasuk China dan Pakistan dan 14 abstain termasuk negara tetangga India.
"Impunitas menjadi lebih mengakar, kemajuan dalam kasus-kasus simbolik telah terhenti," kata duta besar Inggris untuk PBB, Julian Braithwaite.
Braithwaite menyampaikan teks tersebut untuk mewakili sebuah kelompok termasuk Kanada, Jerman, Malawi, Montenegro dan Makedonia Utara. Keputusan itu memberi kantor Bachelet staf baru, kekuasaan, dan anggaran senilai 2,8 juta dolar AS untuk menyelidiki perang Sri Lanka dengan tujuan untuk penuntutan di masa depan.
PBB melaporkan, 80 ribu-100 ribu orang tewas dalam konflik 26 tahun di negara itu. Milisi berusaha untuk membuat negara bagian terpisah untuk minoritas Tamil dan menuduh kedua belah pihak melakukan kejahatan perang. "Ini sangat penting bagi para korban," kata pengacara hak asasi, Yasmin Sooka.
"Ini benar-benar pengakuan bahwa di tingkat domestik, proses telah gagal dan tidak ada harapan nyata bahwa para korban akan mengakses keadilan," kata sosok yang terlibat dalam penuntutan sipil terhadap Presiden Sri Lanka saat ini, Gotabaya Rajapaksa, atas tuduhan kejahatan perang.