Ratusan orang yang dipenjara pascakudeta di Myanmar pada awal Februari lalu, akhirnya dibebaskan pada hari Rabu (24/03). Pembebasan para tahanan ini merupakan gerakan pertama junta militer Myanmar untuk menenangkan para pengunjuk rasa yang masih gigih melakukan aksi demonstrasi.
Beberapa bus yang terisi penuh oleh ratusan tahanan melaju dari Penjara Insein di Yangon menuju lokasi yang dirahasiakan. Berdasarkan laporan media pemerintah Myanmar, 628 orang telah dibebaskan. Kebanyakan dari mereka adalah siswa yang sebelumnya ditahan di kantor polisi.
Associated Press melaporkan salah satu jurnalisnya, fotografer Thein Zaw, telah memberi tahu keluarganya bahwa dia akan dibebaskan. Zaw termasuk di antara sembilan pekerja media yang ditahan selama aksi protes jalanan pada 27 Februari lalu di Yangon dan didakwa melanggar undang-undang ketertiban umum.
Secara keseluruhan, sekitar 40 jurnalis telah ditahan sejak kudeta militer bergulir.
Thein Zaw mengatakan kepada AP melalui telepon, hakim yang menangani kasusnya telah mencabut semua tuduhan terhadapnya, karena dia diketgorikan melakukan pekerjaannya pada saat penangkapan.
Setidaknya 2.000 orang telah ditangkap sejak kudeta tersebut, menurut kelompok aktivis The Assistance Association for Political Prisoners (AAPP).
Lima orang ditembak mati di Mandalay
Pada hari Selasa (23/03) di Mandalay, setidaknya lima orang ditembak mati, termasuk seorang gadis berusia 7 tahun, demikian laporan media Myanmar Now. Sejak kudeta dimulai, AAPP telah mengkonfirmasi pembunuhan terhadap 275 orang sehubungan dengan tindakan keras pascakudeta militer.
Seorang pengacara untuk pemimpin yang digulingkan, Aung San Suu Kyi, mengatakan proses persidangan untuk pemenang hadiah Nobel Perdamaian itu ditunda lagi hingga 1 April mendatang. Penundaan ini merupakan yang kedua kalinya.
Uni Eropa jatuhkan sanksi untuk junta militer
Pada hari Senin (22/03), Menteri Luar Negeri Uni Eropa menyetujui sanksi terhadap 11 orang, termasuk pimpinan Junta Myanmar Min Aung Hlaing. Dia menghadapi pembekuan aset dan larangan mendapat visa, karena "merusak demokrasi dan supremasi hukum" di Myanmar.
Militer Myanmar yang secara resmi dikenal sebagai Tatmadaw, mengendalikan dua perusahaan konglomerat komersial yang mengurusi kepentingan ekonomi, mulai dari pertambangan hingga perbankan.
ha/as (AP, Reuters, dpa)