REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Organisasi hak asasi dan media Myanmar melaporkan sudah lebih dari 300 orang tewas atas kekerasan polisi dalam menindak unjuk rasa memprotes kudeta 1 Februari. Hampir 90 persen di antaranya tewas ditembak dan seperempatnya ditembak di kepala.
Sementara juru bicara junta militer mengatakan pengunjuk rasa yang tewas hanya 164 orang. Militer Myanmar mengatakan tidak hanya pengunjuk rasa, sembilan orang petugas keamanan juga terbunuh dalam gelombang demonstrasi.
Pembunuhan-pembunuhan ini memicu kemarahan negara-negara Barat termasuk Amerika Serikat (AS). Negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia juga telah mengecam penggunaan kekerasan mematikan ke pengunjuk rasa.
"Setiap hari kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan," kata organisasi aktivis Assistance Association for Political Prisoners (AAPP), Jumat (26/3).
Kelompok itu telah mencatat korban tewas akibat kekerasan petugas keamanan dalam membubarkan unjuk rasa sejak gelombang protes dimulai. Mereka mengatakan sudah hampir 3.000 orang ditahan, didakwa dan divonis. AAPP mengatakan hingga 25 Maret sudah 320 orang pengunjuk rasa yang tewas ditangan polisi.
Data menunjukkan 25 persen korban tewas karena tembakan di kepala sehingga menimbulkan kecurigaan mereka sengaja diincar. Tidak ada penuh untuk setiap korban tewas. "Semuanya menunjukkan tentang menggunakan taktik tembak-bunuh untuk menekan unjuk rasa," kata organisasi hak asasi manusia Amnesty International pada awal bulan ini.
Junta membantah menggunakan kekuatan berlebihan dan tindakan mereka sesuai dengan norma internasional dalam menghadapi apa yang mereka sebut mengancam keamanan nasional. Hampir 90 persen korban tewas adalah laki-laki. Sekitar 36 persen diantaranya berusia 24 tahun ke bawah.