REPUBLIKA.CO.ID,YANGON--Duta Besar Amerika Serikat (AS) Thomas Vajda mengatakan, jatuhnya korban jiwa oleh aparat keamanan di Myanmar merupakan pertumpahan darah yang sangat mengerikan. Pada Sabtu (27/3), 114 orang tewas dalam gelombang protes yang memasuki pekan ketujuh sejak kudeta 1 Februari.
"Pertumpahan darah ini mengerikan. Rakyat Myanmar telah berbicara jelas: mereka tidak ingin hidup di bawah kekuasaan militer," ujar Vajda dalam pernyataannya di media sosial.
Sementara itu delegasi Uni Eropa untuk Myanmar mengatakan pada Sabtu, bahwa hari itu akan selamanya terukir sebagai hari teror dan aib bangsa. Perwira tinggi militer dari AS dan hampir belasan rekannya juga bergabung untuk mengutuk pembunuhan oleh tentara Myanmar.
Pernyataan mereka mengatakan, bahwa militer profesional harus mengikuti standar internasional untuk berperilaku dan bertanggung jawab untuk melindungi bukan merugikan orang-orang yang dilayaninya. Sementara pelapor Khusus PBB Tom Andrews mengatakan, sudah waktunya bagi dunia untuk mengambil tindakan, jika tidak melalui Dewan Keamanan PBB kemudian melalui pertemuan puncak darurat internasional.
Dia mengatakan, junta harus dipotong dari pendanaan, seperti pendapatan minyak dan gas, dan dari akses ke senjata. "Kata-kata kecaman atau keprihatinan terus terang terdengar hampa bagi rakyat Myanmar sementara junta militer melakukan pembunuhan massal terhadap mereka," kata Andrews dalam sebuah pernyataan.
"Orang Myanmar membutuhkan dukungan dunia. Kata-kata saja tidak cukup. Sudah lewat waktu untuk tindakan yang kuat dan terkoordinasi," ujanya menambahkan.
Terlepas dari kecaman Barat, junta Myanmar memiliki sekutu di tempat lain. Wakil menteri pertahanan Rusia Alexander Fomin menghadiri parade militer Sabtu di Naypyitaw, setelah bertemu dengan para pemimpin senior junta sehari sebelumnya.
Para diplomat mengatakan delapan negara yakni Rusia, Cina, India, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Laos dan Thailand mengirim perwakilan, tetapi Rusia adalah satu-satunya yang mengirim menteri ke parade pada Hari Angkatan Bersenjata, yang memperingati dimulainya perlawanan terhadap Pendudukan Jepang pada 1945.
Militer Myanmar melakukan kudeta pada 1 Februari dengan alasan telah terjadi kecurangan dalam pemilihan umum (pemilu) pada 8 November lalu. Militer menahan pemimpin sipil Myanmar sekaligus pemimpin partai pemenang pemilu, National League for Democracy (NLD) Aung San Suu Kyi. Militer juga menahan Presiden Myanmar Win Myint dan sejumlah petinggi lain.
Kedutaan Myanmar di London mengatakan, bahwa duta besar bertemu dengan putra Suu Kyi pada Kamis. Kim Aris telah bertanya apakah kedutaan bisa mengatur panggilan dengan ibunya.
Kim bertanya tentang situasi ibunya, dan kesehatannya. "Dia jelas sangat khawatir. Duta besar telah mengirim tiga permintaan ke ibu kota Myanmar dan akan mengirim pengingat lagi," katanya.