REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Penyelidik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Tom Andrews, menyatakan junta Myanmar telah melakukan pembunuhan massal. Dia mengatakan sudah waktunya bagi dunia untuk mengambil tindakan atas peristiwa yang menimbulkan banyak korban jiwa.
"Kata-kata kecaman atau keprihatinan terus terang terdengar hampa bagi rakyat Myanmar sementara junta militer melakukan pembunuhan massal terhadap mereka," kata Andrews dalam sebuah pernyataan.
Andrews menyatakan, Dewan Keamanan PBB pun perlu ikut turun tangan, kemudian melakukan pertemuan puncak darurat internasional. Dia mengatakan, junta harus dipotong dari pendanaan, seperti pendapatan minyak dan gas, dan dari akses ke senjata.
"Orang Myanmar membutuhkan dukungan dunia. Kata-kata saja tidak cukup. Sudah lewat waktu untuk tindakan yang kuat dan terkoordinasi," kata Andrews.
Portal berita Myanmar Now melaporkan sebanyak 114 orang tewas di seluruh negeri dalam tindakan keras terhadap protes tersebut. Mereka termasuk 40 orang, salah satunya seorang gadis berusia 13 tahun, di kota kedua di Myanmar, Mandalay. Sedikitnya 27 orang tewas di pusat komersial Yangon. Seorang anak berusia 13 tahun lainnya termasuk di antara yang tewas di wilayah Sagaing tengah.
Kematian tercatat dari wilayah Kachin di pegunungan utara hingga Taninthartharyi di ujung selatan Laut Andaman. Laporan tersebut menjadikan jumlah keseluruhan warga sipil yang dilaporkan tewas sejak kudeta menjadi lebih dari 440.
"Pertumpahan darah ini mengerikan. Rakyat Myanmar telah berbicara dengan jelas: mereka tidak ingin hidup di bawah kekuasaan militer," ujar Duta Besar Amerika Serikat (AS), Thomas Vajda.